Malam itu dia hendak menonton film horror yang baru ia beli bersama
saudaranya di toko DVD tadi siang. Dia dan saudaranya menonton film itu
di ruangan dekat kamarnya. Mereka sengaja mematikan lampu agar terkesan
lebih menegangkan. Sekitar pukul 21.00 mereka memulai bioskop misteri
mereka yang saat itu adalah malam Rabu kliwon, bukan Jum’at kliwon.
Tak terasa mereka sudah menonton film itu sampai tengah malam. Karena
lampu mereka matikan, sudah tentu mereka tidak bisa melihat pada jam
dinding pukul berapa saat itu.
Dia tidur di kamar depan, terpisah dengan saudaranya. Di tidurnya itu,
ia bermimpi buruk. Ia seperti dikejar sesuatu dan jatuh dari tempat yang
tinggi, dan tiba-tiba ada seseorang yang muncul di depannya setelah ia
terjatuh. Mungkin itu terjadi karena ia telah menonton film horror
sebelumnya.
Matahari pagi perlahan menampakkan wajahnya. Dengan terburu-buru ia
memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan mengambil dua pasang pakaian,
sepasang pakaian putih biru yang ia masukkan juga ke tas dan sepasang
pakaian olah raga berwarna putih biru yang ia akan langsung pakai saat
itu.
Setelah pelajaran olah raga selesai, ia bersama dengan temannya yang
lain langsung berganti pakaian di kelas. Hari itu adalah hari Rabu,
seragam hari itu seharusnya adalah pakaian putih-putih. Betapa kagetnya
ia, ternyata ia salah mengambil pakaian. Mungkin karena tadi pagi ia
mengambilnya bersamaan dengan pakaian olah raga yang warnanya sama. Hari
itu pun ia merasa malu karena ia ‘salah kostum’, terlebih lagi karena
warnanya yang sangat mencolok di tengah lautan warna putih di jam
istirahat itu. Sudah tentu ia ditertawakan oleh siapa saja yang
melihatnya, tetapi ada seseorang yang tersenyum ramah kepadanya saat ia
berusaha melakukan sesuatu yang untuk menutupi kecerobohannya itu.
Seseorang itu terus memperhatikannya, bahkan saat ia berwudhu di tempat
wudhu untuk melakukan sholat berjama’ah di masjid sekolah. Ia menanyakan
seseorang itu kepada Anton seusai sholat berjama’ah.
“Hey, kamu tau gak anak perempuan yang dari tadi liatin aku terus? Dia
itu siapa, sih?”, tanya ia sambil keluar menuruni tangga dari mushola.
“Oh, yang liatin kamu dari balik jendela kelas yang ada di samping tempat wudhu itu?”, ia menunjuk ke kelas yang dimaksud.
“Namanya Citra, kayaknya ia suka sama kamu, deh! Haha..”, lanjut Anton.
“Eh, jangan ditunjuk, dong! Nanti ketauan orangnya!”
Akhirnya, ia bisa terbebas dari rasa malu selama seharian itu setelah
bunyi yang dianggap merdu oleh kebanyakan anak sekolah tentunya, yaitu
bunyi bel pulang. “Teeettt…”, bunyi itu bagaikan harmoni di telinga
mereka yang menggiring mereka untuk memasukkan semua lembaran-lembaran
kertas yang tersusun rapi yang disebut dengan buku. Setelah mereka
berdo’a, berhamburanlah mereka bagaikan sekoloni semut yang keluar dari
sarang kecilnya.
Dia masih mengingat kejadian hari kemarin. Selain tragedi ‘salah
kostum’, pertemuannya dengan seseorang yang bernama Citra itu mewarnai
harinya kemarin di sekolah.
Kali ini ia mencoba untuk lebih berhati-hati lagi dan tidak melakukan
kecerobohan seperti kemarin. Semua buku tidak ada yang tertinggal,
‘kostum’ sudah benar, ia pun segera berangkat karena masih penasaran
tentang Citra yang dilihatnya kemarin di tempat wudhu.
Dia bertanya banyak kepada Anton yang tahu banyak soal anak perempuan di
sekolahnya itu. Anton tergolong cukup ‘up to date’ tentang gosip yang
beredar di sekolah. Maklum saja, ia merupakan anggota jurnalis di
sekolah.
“Menurut informasi yang kudapat, si Citra itu ternyata suka sama kamu.
Karena ia adik kelas kita, ia tidak berani untuk mendekatimu secara
terang-terangan”, ucap Anton dengan mantap sambil berlaga seperti
seorang detektif kepadanya.
“Hah? Nggak mungkin, ah!”, ia tidak percaya dengan ucapan Anton.
Bel istirahat pertama pun berbunyi. Sebuah melodi indah selain bel pulang sekolah yang akan terdengar di akhir nanti.
Karena ia lupa sarapan tadi pagi, ia bergegas menuruni tangga untuk
pergi ke kantin sekolah membeli makanan. Sebuah keceroboban lain yang ia
kembali lakukan seperti kemarin.
Dia menuruni tangga langsung dua-dua karena di perutnya seperti ada
yang menjerit ketakutan karena menonton film horror yang lebih seram
daripada yang ia pernah tonton dulu bersama saudaranya. Bukan hanya
karena rasa lapar, tetapi juga karena ia menjadi salah tingkah setelah
ia mendengar perkataan Anton tadi pagi.
“Bruggg…!”, ia terpeleset ke bawah dari atas tangga karena lantainya baru saja dipel.
Betapa terkejutnya ia, selain karena wajahnya mendarat di pot bunga, di hadapannya ternyata sudah ada Citra.
“Kakak nggak pa-pa?”, tanyanya khawatir.
“E.. eh, nggak pa-pa, kok!”, jawab ia gugup dan langsung salah tingkah.
“Boleh aku bantu, kak?”, sambil tersenyum.
Setelah itu, ia langsung berlari ke arah kantin karena lagi-lagi Citra
ada di hadapannya ketika ia melakukan kecerobohan. Dia merasa malu
sekali akan hal yang barusan terjadi. Dia pergi meninggalkan Citra yang
kembali menunjukkan senyumnya ketika ia melihatnya dari kejauhan.
Akhirnya ia tersadar bahwa mimpi buruknya tempo lalu adalah pertanda
baginya akan mengalami kejadian ini. Mimpi tersebut ternyata berarti
bahwa ia akan berlari dikejar rasa lapar dan jatuh dari tempat yang
tinggi, yaitu tangga. Dan perempuan yang tiba-tiba muncul di hadapannya
sambil tersenyum itu adalah Citra, adik kelasnya yang ternyata
menyuakainya. Sebuah pertemuan yang bisa disebut ‘pertemuan horror’,
karena pertemuan itu cukup menakutkan baginya. Maksudnya, ia takut hal
itu akan terulang kembali, kejadian memalukan yang membuatnya bisa
menjadi salah tingkah.
0 komentar:
Posting Komentar