“Aaaa jangan di cukur habis~!” teriak ku
“Ahahaha lucuuu… Ahaha. Lah kan udah perjanjiannya yang kalah cukur alis sampai abis.” ujar Gisha, teman satu kost ku.
“Ishhh… iya iya ya udah. Sebelah aja ya.”
“Beneran lo mau sebelah? Lebih aneh tau. Ahahah lucu banget kalau sebelah doang yang botak masa.”
“Ah. Ya udah deh, suka-suka lo Sha. Gue pasrah.”
Malam itu di kamar kami yang berukuran 7×6 m, kami habiskan dengan
bercanda guyonan konyol karena besok sudah libur semester. Aku dan Gisha
akan berpisah untuk sementara. Tidak lagi tidur satu kamar di kost-an,
kami akan pulang ke rumah kami masing-masing. Aku duduk di depan meja
rias dengan terpaku. Membiarkan Gisha menyelesaikan hukumannya pada ku.
Saat itu tepat jam 12 malam. Tapi mata kami sama sekali tidak mengantuk.
Selesai mencukur habis alis ku, bergosip hal yang tidak penting,
menghabiskan snack di atas kasur, akhirnya kami berdua berniat untuk
mencoba tidur. Lampu kamar akhirnya kami padamkan.
“Astaga!!!.” ucap ku sangat kaget.
“Kenapa Da?” tanya Gisha dalam kegelapan kamar.
“Itu di luar siapa Sha?”
“Siapa?”
“Ituuuu… di jendela~”
“Mana?” tanya Gisha lagi sambil celingak-celinguk mendekati satu-satunya
jendela di kamar kost kami. Jendela cukup besar, dan bisa di dorong
terbuka ke arah luar. Sisi luar jendela langsung terhubung dengan teras
depan kamar yang kadang beralih fungsi menjadi area jemur pakaian. Di
teras itu setiap malam selalu di hidupkan satu lampu neon agak redup
bercahaya agak kuning. Ibu kost yang selalu rajin menghidupkannya setiap
magrib, dan mematikannya setelah cahaya matahari merambat di teras,
sekitar pukul 8.
“Gue gak liat apa-apa Da.” lanjut Gisha.
“Ah tau ah. Becanda lo gak lucu. Udah bodo amat. Tidur ajalah.” jawabku.
Sebenarnya aku melihat sesosok wanita muda, umurnya sepertinya sama
dengan kami, sedang berdiri tepat di depan jendela, dan memandang ke
arah kamar. Sejujurmya aku takut. Tapi juga bingung. Siapa wanita itu.
Tapi kenapa Gisha gak ngeliat cewek itu. Jelas-jelas cewek itu tepat di
depan jendela, tanpa harus berpindah posisi untuk mendapatkan enggel
pandangan yang tepat pun, seharusnya Gisha sudah bisa melihat sosok
wanita itu. Tapi aku juga ragu, Gisha sedang berbohong untuk membuat aku
ketakutan sendiri atau tidak ya? Apalagi aku yang sudah satu kamar kost
satu tahun lebih dengannya, sudah tahu watak jahilnya seperti apa. Tapi
kalau aku ingat-ingat, aku pernah dengar mitos, kalau orang yang
mencukur alisnya habis di tengah malam, akan dapat melihat hantu.
Jangan-jangan mitos itu benar. Tapi aku tidak tahu pasti.
Aku sedang duduk di ruang tengah rumah ku, mencoba menikmati
masa-masa santai liburan kuliah ku. Tapi bagaimana bisa santai kalau
wanita di jendela kost malam tadi sekarang ada di sebelah ku, duduk di
sofa yang sama dengan ku. Aku hanya diam. Aku hanya sesekali menoleh ke
arahnya dengan canggung, dan ia pasti membalas dengan menoleh juga ke
arah ku dengan wajah datar tak bersalahnya. Dibanding takut, perasaan ku
lebih condong ke bingung. Bagaimana aku bisa takut kalau setiap ia
menoleh ia malah tersenyum manis padaku layaknya sahabat lama, wajahnya
pun tidak seperti hantu (malah cantik, bisa dibilang jika ia menjadi
siswi SMA, ia akan menjadi siswi populer atau ketua tim cheerleaders
atau semacamnya) walaupun sekarang aku sudah tahu kalau wanita ini
adalah hantu. karena sejak tadi pagi aku bangun di kamar kost-ku, aku
sudah mendapati dia masih berdiri di depan jendela itu. Saat aku
berjalan membawa koper untuk mencari taksi menuju rumah, ia mengikuti
langkah ku di samping ku dalam diam, saat aku masuk ke taksi ia juga
ikut bersama ku. Lalu supir taksi menegur ku basa-basi ‘sendirian aja
mba?’. Di detik itu aku mendapat bukti konkret yang dapat aku percaya
kalau hanya aku yang dapat melihatnya. Saat sampai di rumah pun, orang
rumahku tidak ada komentar apa-apa tentang sesosok wanita yang terus
mengikuti ku. Jika saja orang rumah ku bisa melihat, mereka pasti sudah
menyambutnya layaknya tamu dengan memberi makan dan minum, tapi scene
itu tidak terjadi. Itu lah bukti konkret kedua, kalau sosok yang
mengikuti ku ini adalah hantu.
karena aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku tidak mau di ikuti
terus oleh sosok yang tak nampak di mata orang lain, apalagi ia juga
mengikutiku sampai ke kamar mandi. Aku tidak bisa terus diam dan
membiarkannya mengikuti ku sepanjang sisa hidup ku. Akhirnya aku
memberanikan diri menyapanya.
“Hai.” ucap ku ragu.
“Hai.” jawab sosok itu dengan sopan dan ceria.
“Lo siapa?”
“Rosa.”
“Ah jadi nama lo Rosa.”
“Um” respon Rosa sambil tersenyum ke arah ku.
“Kenapa lo ngikutin gue terus dari kost an tadi sampai ke sini?”
“Gue punya permintaan ke lo.” ucap hantu itu sambil mendekatkan manja wajahnya ke wajahku.
“Pe… pe… per…permintaan?” Tanya ku bingung.
“Iya.”
“Lo harus kabulin.”
“Kenapa gue harus kabulin?”
“Ya kalau gak, gue gak akan pergi dari lo.”
Wah hantu ini, benar-benar, tahu juga dia sama yang namanya ‘ancaman’.
Dulu semasa hidup, mungkin dia preman perempuan kali ya. Pikir ku.
“Emang lo mau apa?”
“Motor.”
“Motor? Ahahah. Emang lo mau naik motor?” aku spontan tertawa
mendengarnya. Memangnya dia bisa apa ke surga dengan mengendarai motor.
Pikir ku. Kenapa gak sekalian delman saja?
“Iya. Mau. Motor.” jawabnya singkat.
“Ya udah lo ambil deh tuh motor Papa gue di depan, lo bawa yang jauh ya, gak usah balik-balik lagi ke gue.” ujarku.
“Bukan motor yang itu.”
“Terus yang mana?”
“Ada. Motornya keluaran lama. Sekarang di pake pak ujang, tukang ojek pertigaan di depan komplek.”
“Lah?! Lo kenal pak ujang juga?” tanya ku heran. Kok nampaknya wanita
ini sudah tahu banyak ya padahal baru mengikuti ku kurang dari sehari.
“Gue mau motor itu pokoknya.” ucap hantu itu tegas.
“Nah itu lo udah tau motornya ada dimana. Ya udah gih sana lo baawa sendiri.” jawab ku enteng.
“Heh. Lo pikir hantu bisa bawa motor? Lo yang harus kendarain. Gue dibonceng di belakang~.”
Mau tidak mau aku harus mengabulkan permintaan aneh hantu ini.
Padahal aku sudah bilang, mustahil untuk meminjam motor pak ujang, aku
tidak begitu kenal dekat dengannya, aku hanya sekedar tau dia saja,
tidak sampai ke titik saling percaya untuk meminjamkan barang-barang
berharga milik pribadi. Tapi Rosa terus mendesak, dan berulang-ulang
memperingati ku dengan ancamannya yang tidak akan berhenti mengikutiku.
Alih-alih ia malah memberiku saran untuk mencuri motor pak ujang hanya
untuk sehari saja. Benar-benar hantu aneh. Tapi aku lebih aneh karena
menuruti sarannya. Ini demi ia hilang dari keseharianku.
Dan dengan bekal ilmu kunci T seadaanya yang aku baca dari internet
aku memberanikan diri memasuki pekarangan rumah pak ujang malam itu.
Rumah pak ujang memang tidak mempunyai pagar, jadi mudah saja bagi ku
untuk membawa keluar-masuk motor. Terlebih lagi, motor ini adalah motor
tua yang miskin sistem safety anti maling-nya. Alhasil bocah ingusan
macam ku berhasil membondol motor tua ini. Haha. Perasaan bangga timbul
di hati ku sejenak, setelah berhasil menghidupkan mesin motor itu.
“Sekarang kita mau kemana?” ucapku berbisik ke Rosa.
“Puncak.” jawabnya.
“Hah? Gila kali!.” protes ku sambil masih dalam volume suara amat kecil.
“Udah jalan aja.” ujar Rosa.. Dan lagi-lagi mau tak mau aku menurutinya.
Sejam sudah aku mengendarai motor di tengah malam dengan terpaan
angin yang dingin serta membonceng sesosok hantu wanita. Tidak pernah
aku bayangkan adegan seperti ini mampir di kehidupanku.
“Haaah… kalau begini, aku bisa pulang jam berapa coba?” keluhku di
tengah perjalanan. Sebenarnya dalam hitungan belasan menit lagi, kami
sudah akan sampai di puncak pas. Tapi mengingat badan yang pegal, aku
tidak bisa bayangkan bagaimana perjalanan pulang nanti. Apalagi sudah
dini hari. Aku takut jika Papa dan Mama tahu. Komentar apa yang akan
keluar dari mulut mereka.
“Mau pulang jam berapa terserah adek, mau pulang pagi juga boleh.
Selama sama kamu mah, mau main-main berapa lama juga kakak gak akan
bosen.” ucap Rosa.
Saat mendengar kalimat itu, saat itu juga ingatan masa lalu ku terbuka.
Aku merinding. Scene seperti ini pernah aku alami sebelumnya. Ini
seperti dejavu. ‘Mau pulang jam berapa terserah adek, mau pulang pagi
juga boleh. Selama sama kamu mah, mau main-main berapa lama juga kakak
gak akan bosen’ aku ingat. Dua tahun lalu aku diajak kakak ku
menghabiskan malam tahun baru di puncak, hanya berdua, kami mengendarai
motor. Motor ini tepatnya. Dari awal desember kak Rosa sudah berjanji
akan bermain ke puncak dengan ku. Sampai akhirnya, kalimat itu, menjadi
kalimat terakhir kakak sebelum ia meninggal karena kecelakaan.
Malam itu sebenarnya malam yang indah di malam tahun baru, langit
yang bersih, semua bintang terlihat oleh mata. Tapi satu kejadian sial
menimpa aku dan kak Rosa, truk besar oleng tepat di belakang motor yang
kami kendarai. Hingga akhirnya motor kami tertabrak dari belakang.
Sekarang aku ingat semuanya.
“Kakaaaak~?!!” ucapku gemetar. Aku rindu padanya. Aku baru menyadari
sosok hantu ini adalah kakak-ku yang sudah meninggal. Air mata pun
menetes deras tanpa ku sadari.
“Kamu jangan nangis. Kendarai motornya dengan baik, biar kakak bisa
tepati janji kakak nemenin kamu main di puncak sana.” ucapnya penuh
kehangatan.
Aku terus mengendarai motor itu, hingga kami sampai di puncak
tertinggi. Kami duduk di tanah berumput, aku membaringkan tubuhku ke
tanah, agar dapat lebih jelas menikmati indahnya bintang-bintang. Kak
Rosa pun ikut berbaring di sebelah ku.
“Kemana saja kamu selama ini?” tanya ku.
“Di sini.” jawabnya.
“Huh? Di puncak ini?”
“Ahaha. Bukan. Di sebelah kamu.”
Aku tertegun. Aku menoleh ke arahnya.
“Sebenarnya malam itu, di jendela kost. Aku sedikit kecewa. Kamu tidak
mengenali ku saat kamu melihat wajah ku lagi setelah dua tahun yang
panjang ini.”
“Bukan begitu. Aku pun baru ingat. Papa dan Mama pernah bawa aku ke psikater.”
“Ngapain?”
“Setiap hari setelah kakak gak ada, aku nangis terus. Aku ngerasa gak
adil kenapa kita di motor yang sama tapi luka kecelakaan yang kita dapet
bisa berbeda. Kakak begitu parah sampai akhirnya meninggal di TKP. Aku
berlarut-larut dalam kesedihan.”
“Terus? Kamu sampai gila? Di bawa ke psikiater gitu.”
“Bukaaan! Enak aja. Katanya kakak di samping aku terus, kok ini aja gak tau?”
“Ahahah sorry sorry. Bercanda. Ummm, mungkin waktu itu kakak lagi ke
toilet kali, jadi gak liat kamu di bawa ke psikiater. Ahahah.”
“Diiih, emang hantu BAB juga?” tanya ku polos, percaya tidak percaya.
“Ahahah gak deng. Mungkin itu kejadiannya sebelum 40 hari Da, jadi aku belum ada.”
“Oh gitu. Iya. Gara-gara aku yang terlalu berlarut-larut dalam
kesedihan, akhirnya Mama Papa bawa aku untuk di hipnotis. Supaya ilangin
semua memori tentang kakak di otak aku. Jadi selama dua tahun
belakangan ini aku pikir aku anak tunggalnya Papa Mama loh kak.”
“Oooh begitu. Pantes, di rumah foto keluarga kita gak pernah di pajang lagi.”
“Iya. Setelah aku inget ini, aku jadi agak marah sama Papa Mama. Kenapa
mereka tega ilangin ingetan aku tentang kakak. Mau gimana juga kan, kak
Rosa itu kakak aku.”
“Kamu harus ngerti Dek, Papa Mama lakuin ini semua buat kebaikan kamu. Sekarang kamu pulang deh.”
“Ya deh, ayok kita pulang.”
“Kita? Kamu aja kali.”
“Apaan sih kak? Gak lucu tau.”
“Aku serius. Kamu pulang ke rumah. Aku pulang kesana sekarang.” ujar Kak
Rosa sambil menunjuk ke arah langit, ke arah bintang-bintang yang
bersinar indah.
“Kakak gak akan ngikutin aku lagi?” tanya ku sedikit lirih. Kak Rosa
menjawab hanya dengan menggelengkan kepalanya. Dan aku pun pasrah, aku
sadar kami sudah ada di dimensi yang berbeda. Aku kembali menaiki motor
pak Ujang (yang dulunya motor Kak Rosa. Setelah kecelakaan Papa memberi
motor itu ke Pak Ujang. Juga dalam rangka menghapus ingatanku tentang
kecelakaan itu).
Aku menghidupkan mesin, dan bersiap pulang dengan membesarkan hati.
“Sampaikan salam terima kasih ku pada Gisha yang telah mencukur habis
alis mu ya.” ucap Kak Rosa seraya melambaikan tangan saat aku beranjak
pergi. “Kamu lucu dengan wajah tanpa alis adikku~”
0 komentar:
Posting Komentar