Di pagi hari dengan cuaca yang tidak bersahabat, awan hitam
menyelimuti langit biru yang cerah diseratai dengan rintikan hujan,
Nindy siswi teladan SMA ATHENS yang kini duduk di kelas IX sudah
bersiap–siap untuk pergi ke sekolah dengan Jazz kesayangannya.
Sesampainya di sekolah.
“Pagi pak!” Sapa Nindy kepada petugas keamanan dari dalam mobilnya saat memasuki gerbang sekolah.
“Pagi juga neng! Parkirnya di sebelah sana ya!” Jawab Pak Didi sambil menunjukkan arah dengan tangannya.
“Sip Pak!” Balas Nindy.
Nindy pun memarkirkan mobilnya. Setelah itu Ia segera menuju ruang
kelasnya. Dari balik pintu sudah terlihat ketiga sahabat karibnya yang
tak lain ialah Chacha, Sheila, dan Niken yang sedang membicarakan
sesuatu yang kelihatannya begitu seru.
“Pagi semua!” Sapa Nindy ceria kepada teman-temannya.
“Pagi! Tumben lo baru datang, biasanya lo duluan yang datang daripada kita?” Tanya Sheila
“Iya tadi gue kesiangan, Maklumlah mendung. Yaa otomatis gue
berangkatnya agak telat, terus jalanan macet, untung aja gue ggak
telat.” Jelas Nindy.
“Ya namanya juga Jakarta, kalo eggak macet bukan Jakarta.” Tambah Niken.
“terus apa namanya?” Tanya Chacha.
“Nggak perlu di bahas Ok!” Jawab Niken. Diiringi tawa kecil yang lain.
“Eh gue ke kantin dulu ya, mau beli air mineral, lupa tadi ga kebawa.
Ada yang mau titip?” Tanya Nindy menawarkan kepada sahabatnya.
“Nggak usah deh, makasih!” Jawab Sheila.
“Ya sudah gue keluar dulu ya!” Pamit Nindy.
Nindy pun meninggalkan kelas dan menuju kantin Bu Fira. Setelah Ia
sudah mendapatkan air mineral, Ia kembali ke kelas dengan tergesa–gesa
karena bel yang mennadakan tanda masuk sudah berdering.
“Duh abis deh geu kalo Pak Gozali udah sampai di kelas duluan.” Gumam Nindy dalam benaknya.
Karena terlalu tergesa-gesa, sampai Ia tidak melihat seorang pria tinggi
dengan paras menawan sedang berjalan dari arah yang berlawanan. Nindy
secara tidak sengaja menabrak pria tersebut hingga mereka terjatuh.
“Aduh!” Seru pria itu.
“Maaf, maaf! Gue nngak sengaja, gue lagi buru-biru nih.” Jawab Nindy.
“Oh iya iya gapapa kok. Kalo boleh tanya ruang Kepala Sekolah di mana ya?” Tanya pria tampan dengan sedikit terengah-engah.
“Ruangan Kepala Sekolah di sana, lurus aja ada tulisannya kok.” Jawab
Nindy dengan penuh kepanikan sambil mengarahkan tangannya ke arah kanan.
“Ya makasih ya.” Ucap pria tampan itu.
“Ya sama-sama” Balas Nindy dengan suara lebih keras sambil berlari.
Tak lama kemudian Ia pun sampai di depan kelas. Dari balik pintu Ia
sedikit mengintip ke dalam untuk melihat apakah Pak Gozali sudah sampai
di ruangan atau belum.
“Ya Tuhan lindungilah hamba-Mu ini dari hukuman Pak Gozali.” Doa Nindy dalam benaknya sebelum memasuki kelas.
Ia pun secara perlahan-lahan memesuki kelas. Dengan perasaan
berdebar-debar. Ia segera mengarahkan pandangannya ke seluruh sisi
ruangan trersebut untuk mengetahui keberadaan Pak Gozali.
“Alhamdulillah beliau belum datang, terima kasih ya Allah.” Ucap Nindy
dalam benaknya sambil menempatkan tangan kanannya di dadanya.
“Kenapa lo kok kelihatannya tegang banget?” Tanya Sheila.
“Gimana nggak tegang, sekarang kan pelajarannya Pak Gozali. Kalo gue
sampai telat masuk sedikit aja habis gue dijemur di lapangan. Dia belum
datang kan?” Jelas Nindy.
“Belum kok! Mungkin karena habis hujan terus jalanan macet, jadinya becek deh!” Tambah Chacha.
“Iya tuh mungkin kejebak banjir.” Tambah Niken.
Tak lama kemudian datang sosok pria tinggi, bertubuh tegap, dan
terlihat sedikit jutek dari balik pintu. Pria itu tak lain ialah Pak
Gozali. Suasana kelas pun berubah sesaat dari yang sebelumnya sedikit
gaduh menjadi sunyi ketika Ia datang. Tak ada seorang pun yang berani
mengeluarkan sepatah kata kecuali Richo sang ketua murid yang memberikan
komando kepada teman-temannya.
“Bersiap! Memberi salam!” Ucap Richo.
Mendengar perintah tersebut, serentak seluruh siswa mengucapkan salam.
Setelah itu Pak Gozali mengabsen siswa-siswi. Lalu Beliau melanjutkan
menjelaskan materi minggu lalu mengenai teknologi reproduksi. Di tengah
penjelasannya tiba-tiba Ia mengajukan pertanyaan.
“Ada yang masih ingat, hewan apa yang pertama kali di cloning?” Tanyanya dengan sedikit penegasan.
“Domba Dolly pak!” Jawab Nindy.
“Benar sekali. Sekarang, siapa yang dapat menjelaskan bagaimana proses pengkloningan pada hewan tersebut?” Tambahnya.
Seluruh siswa hanya terdiam mendengar pertanyyan tersebut.
“Ya sudah, mungkin kalian lupa. Sekarang silahkan buat kelompok masing-masing empat orang dan diskusikan!” Perintahnya.
Mendengar perintah tersebut, seluruh siswa dalam ruangan tersebut
langsung membalikkan kursi mereka. Begitu pula dengan Nindy dan Chacha,
mereka memutar kursinya 180 derajat hingga mereka berhadapan dengan
Sheila dan Niken.
Disela–sela diskusi Sheila melihat Nindy penuh keheranan.
“Woy kenapa lo? Kok dari tadi gue perhatiin lo senyum-senyum sendiri?” Tanya Sheila.
“Cie lagi seneng ya? Cerita dong!” Bujuk Niken diiringi tawa kecil.
“aduh gue bingung ceritanya dari mana, yang jelas perasaan gue hari ini
seneng banget.” Jawab Nindy penuh kegembiraan disertai tawa kecil.
“Gue tau pasti lo sekarang lagi jatuh cinta ya?” Tebak Chacha.
“Ih apaan sih lo Cha? Nggak kok!” Jawab Nindy dengan sedikit malu.
“Ih pake ngebohong, sudah jujur aja! Lo itu nggak bisa bohong sama gue,
dari mata lo aja sudah kelihatan klo lo lagi jatuh cinta. Mungkin lo
bisa ngebohongin yang lain tapi gue enggak. Gue sahabat lo dari lo
kecil, dari kita belum sekolah.” Jelas Chacha.
“Hehe Iya deh gue nyerah. ” Jawab Nindy dengan sedikit malu.
“Cie cie sama siapa Nin?”Tanya Niken dengan penuh penasaran.
“Gue nggak tahu dia siapa, kayaknya sih anak baru. Soalnya gue baru kali
ini ngelihat dia.” Jelas Nindy dengan wajah sedikit kemerah–merahan.
“Cie…! Berarti lo jatuh cinta pada pandangan pertama dong? Cie cie” Ejek Sheila.
“Jarang-jarangkan seorang Nindy Aditya Putri, seorang putri sekolah jatuh cinta! Beruntung banget tuh orangnya.” Tambah Chacha.
“Ih apaan sih kalian! Udah ah udah jangan bahas sekarang.” Jawab Nindy
sambil melirik ke arah Pak Gozali yang sedari tadi memperhatikan mereka.
“Pokoknya nanti certain ya siapa yang sudah membuat lo jatuh cinta.” Pinta Niken.
“Iya bawel.” Jawab Nindy
Mereka pun melanjutkan diskusi hingga jam pelajaran Pak Gozali selesai.
Kemudian mereka melanjutkan dengan mata pelajaran lain. Setelah pikul
16.00 WIB bel bordering, yang menunjukkan bahwa kegiatan KBM sudah
berakhir. Siswa-siswi pun meninggalkan kelas dan bergegas kembali ke
rumah masing-masing.
Keesokan harinya, seperti biasa Nindy sudah bangun saat sang fajar
masih malu-malu menampakkan dirinya. Ia segera bersiap-siap pergi ke
sekolah. Ia tidak dapat bersantai-santai karena kondisi jalan Ibu Kota
tidak dapat diprediksikan. Setelah seluruh persiapan selesai, Ia tidak
lupa untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya yaitu Bapak Ferdy dan
Ibu Lian sebelum Ia pergi ke sekolah.
Sesampainya di SMA ATHENS sambil menunggu bel, Nindy dan ketiga
sahabatnya melanjutkan pembicaraan yang lalu mengenai siapa yang membuat
Nindy jatuh cinta. Disela-sela pembicaraan, terdengar bel yang
menunjukkan bahwa KBM segera dimulai. Tak lama kemudian seorang lelaki
paruh baya memasuki kelas tersebut, yaitu Pak Cece, yang tak lain ialah
guru BK. Serentak seluruh siswa memberikan salam kepadanya.
“Pagi ini kalian kedatangan siswa baru pindahan dari Bandung.” Ujar Pak Cece.
Kemudian Ia memanggil seorang laki-laki tampan dari balik pintu. Ketika lelaki itu masuk suasana kelas menjadi gaduh.
“TENANG-TENANG!! Saya harap kalian bias tenang!” Ucap Pak Cece.
Seketika suasana kelas menjadi lebih tenang.
“Sekarang silahkan perkenalkan diri kamu!” Pinta Pak Cece kepada murid baru tersebut.
“Selamat pagi semuanya! Nama saya Ryan Anugrah, kalian bisa panggil saya Ryan.” Ucap Ryan.
“Sekarang silahkan kamu cari kursi yang masih kosong.” Ucap Pak Cece
mempersilahkan Ryan untuk duduk. “Untuk perkenalan lebih lanjut nanti
kalian bisa tanya langsung.” Tambahnya.
”Sekarang pelajaran apa?” Tanya Pak Cece pada Richo.
“Olahraga Pak.” Jawab Richo.
“Ya sudah sekarang kalian ganti baju lalu langsung ke lapangan, guru
kalian sudah menunggu disana.” Ucap Pak Cece sebelum meninggalkan kelas
tersebut.
Kemudian Pak Cece meninggalkan kelas tersebut. Ryan pun segera menuju
kursi yang masih kosong. Saat menuju kursi tersebut Ia melewati kursi
Nindy, dan tersenyum padanya.
Tanpa disadari Nindy, Chacha sedari tadi memperhatikan tingkah laku
Nindy yang sejak tadi tersenyum tepatnya ketika Ryan memasuki kelas.
“Dia ya orangnya?” Tanya Chacha.
“Maksudnya?” Tanya balik Nindy.
“Ia dia kan yang sudah membuat hati lo jadi berbunga-bunga?” Tebak Chacha.
“Hehe Iya.” jawab Nindy sedikit malu-malu. “Kok lo bisa tahu sih?” Tanya Nindy heran.
“Kelihatan dari tingkah laku lo.” Jelas Chacha singkat. “Ya sudah yuk ganti baju!” Tambah Chacha.
Kemudian mereka dan siswa yang lain mengganti pakaian putih abu-abu
dengan pakaian olahraga. Setelah itu mereka berkumpul di lapangan.
Sesampainya di sana mereka diperintahkan untuk bermain basket. Karena
sudah merasa lelah bermain basket, mereka memutuskan untuk beristirahat.
Di tengah istirahat, tiba-tiba Ryan menghampiri Nindy yang tengah asyik
bersama ketiga sahabatnya. Ryan pun memperkenalkan dirinya kepada
Nindy, Chacha, Sheila, dan Niken.
“Hai!” Sapa Ryan. Maaf ya kemarin gue ga sengaja nabrak lo sampai lo jatuh, ada yang luka nggak?” Tambahnya.
“Nggak papa ko, nggak ada yang luka. Lagi pula kemarin kan yang nabrak
gue bukan lo” Jawab Nindy. “Kalo boleh tahu, kenapa lo pindah sekolah?”
Tambahnya.
“Gue dulu ikut nenek gue, kasihan nenek gue sendiri. Belum lama ini
Beliau meninggal, ya sudah gue balik tinggal sama orang tua gue, terus
disekolahin disini.” Jelas Ryan.
“Oh maaf ya, jadi mggak enak. Lo cucu kesayangannya ya?” Balas Nindy.
“Nggak papa kok. Gimana ya gue kan cucu satu-satunya.” Jawab Ryan.
“Oh, pasti nenek lo sayang banget sama lo.”
Mereka pun melanjutkan pembicaraan hingga menyinggung topik yang
lain. Di tengah-tengah perbincangan terdengar bunyi bel, mereka pun
menyudahi obrolan dan segera mengganti pakaian. Setelah itu mereka
melanjutkan pelajaran hingga akhir. Ketika bel berdering Nindy dan
ketiga sahabatnya pulang bersama.
Di tengah-tengah perjalanan sambil mrndengarkan musik kesukaan mereka mereka membicarakan sesuatu.
“Cie Nindy, tadi ngobrolin apa saja sama Ryan?” Ledek Niken.
“Ih apaan si lo Ken! Tadi gue cuma nanya alasan dia pindah sekolah terus gue ceritain keadaan sekolah kita.” Jawab Nindy.
“Cha, lo kenapa dari tadi diam saja, terus muka lo kok agak pucat sih?” Tanya Sheila khawatir.
“Nggak papa kok cuma pusing sedikit.” Jawab Chacha lemas.
“Gue perhatiin, kok lo sering banget pusing? Sakit apa?” Tanya Nindy
cemas sambil melirik ke arah Chacha yang duduk di sampingnya.
“Nggak, nggak ada sakit kok! Ya mumgkin karena kelelehan aja kali.” Jawab Chacha.
Nindy pun mengantarkan Chacha hingga pintu rumahnya, kemudian Ia melanjutkan mengantar Sheila dan Niken.
Sesampainya di rumah, kedua orang tua Chacha sangat khawatir melihat
keadaan putri tunggalnya yang pucat pasi. Tanpa berfikir panjang, mereka
membawanya ke rumah sakit tempat di mana keluarga Chacha memeriksa
kesehatannya.
Sesampainya di rumah sakit, Chacha diperiksa oleh Dokter Indrawan
yang akrab di sapa dokter Indra yang tak lain ialah dokter pribadi
keluarga Nasution, keluarga Chacha. Setelah Chacha selesai diperiksa,
Dokter Indra meminta Bapak Zainal Nasution dan Ibu Yulia Nasution
menemuinya di ruangannya.
“Maaf sebelumnya saya harus mengatakan ini kepada Bapak dan Ibu, kondisi
putri Anda sudah semakin parah, saya khawatir apabila operasi tidak
segera dilaksanakan, hal ini bisa mengancam keselamatan putri anda.”
Jelas Dokter Indra.
“Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkan putri kami selain operasi?” Tanya Ibu Yulia sambil menitihkan air mata.
“Tidak ada cara lain lagi karena kondisi putri Ibu sudah memasuki
stadium akhir. Itu pun bila operasinya berhasil.” Jawab Dokter Indra.
“Maksud dokter?” Tanya Bapak Zaenal khawatir.
“Ia bila operasinya berhasil ada dua kemungkinan, yaitu Ia akan kembali
seperti sedia kala atau ia tetap hidup dengan lupa ingatan atau yang
disebut amnesia.” Jelas Dokter Indra. “Dan apabila operasinya tidak
segera dilaksanakan atau gagal maka putri ibu tidak dapat diselamatkan
atau ada keajaiban dari Yang Kuasa.” Tambahnya.
Mendengar perkataan tadi air mata Ibu Yukia mengalir semakin deras.
“Kapan operasi itu bisa dilaksanakan?” Tanya Bapak Zaenal.
“Itu tergantung kesiapan Anda dan putri Anda, saran saya lebih baik secepatnya.” Jawab Dokter Indra.
Di tempat yang berbeda tepatnya di ruang tunggu dalam waktu yang
bersamaan, Chacha secara tidak sengaja melihat Ryan yang sedang
berjalan.
“Ryan Ryan!!” Panggil Chacha.
Mendengar itu Ryan mencari asal suara tersebut. Ia mengarahkan
pandangannya ke seluruh sisi ruangan tersebut. Lalu Ia melihat sosok
Chacha yang sedang berdiri. Ia pun menghampirinya.
“Eh lo Cha yang tadi manggil gue? Ngapain lo di sini?” Tanya Ryan.
“Ya gue yang manggil lo. Gue di sini habis check-up sekarang lagi
nungguin orang tua gue, dari tadi belum keluar-keluar.” Jawab Chacha. Lo
sendiri ngapain?” Tambahnya.
“Orang tua lo belum keluar dari mana? Tanya Ryan. Gue mau jemput bokap gue mobilnya lagi di bengkel.” Jelas Ryan.
“Dari ruangannya Dokter Indra.” Jawab Chacha.
“Dokter Indara siapa? Bokap gue kan dokter juga disini terus namanya dokter Indrawan.” Jelas Chacha.
“Dokter Indra yang ruangannya di sebelah sana.” Balas Chacha sambil
menunjuk ke arah ruangan yang berda tak jauh dari tempatnya menunggu.
“Loh itu kan ruangannya bokap gue.” Balas Ryan.
“Serius lo?” Tanya Chacha seolah tidak percaya.
“Serius lah ngapain sih gue bohong.” Jelas Ryan. “Siapa yang sakit? Lo Cha?” Tambahnya.
Chacha hanya terdian mendengar pertanyaan tersebut. Ia bimbang apakah Ia
harus mengatakan yang sejujurnya tentang penyakitnya atau tidak. Ia
khawatir apabila Ia mengtakan yang sejujurnya orang-orang yang berada di
dekatnya hanya iba terhadapnya. Belum sempat Ia menjawab, Dokter Indra
bersama kedua orang tuanya datang dan menghampiri mereka.
“Eh itu orang tua gue sama Dokter Indra sudah keluar.” Ucap Chacha sambil menunjuk ke arah orang tuanya.
“Cha kok lo nggak jawab pertanyaan gue sih?” Tanya Ryan.
“Oh, enggak kok gue cuma sakit kepala biasa saja kok.” Jawab Chacha agak ragu.
Kemudian Dokter Indra bersama kedua orang tua Chacha datang menghampiri.
“Kalian sudah saling kenal?” Tanya Dokter Indra kepada putraya dan Chacha.“Pak, Bu perkenalkan ini putra saya.” Tambahnya.
Ryan pun bersalaman pada orang tua Chacha sebagai tanda perkenlan.
“Ya sudah kalau begitu Dok kami pamit pulang dulu karena sudah malam.” Ucap Bapak Zaenal.
“Ya hati-hati Pak!” Balas Dokter Indra diiringi senyum. “Chacha jangan lupa istirahat ya.” Pesan Dokter Indra kepada Chacha.
Chacha pun hanya mengangguk. Kemudian mereka meninggalkan tempat tersebut.
“Kasihan temanmu, di usianya yang masih terbilang muda Dia harus menghadapi kenyataan pahit.” Ucap Dokter Indra kepada putranya.
“Maksud ayah apa?” Tanya Ryan tak mengerti.
“Iya, dia mengidap kanker otak, sudah stadium akhir.”Jawab Ayah Ryan.
“Apa?” Ucap Ryan tak percaya.
“Ya sudah sekarang kita pulang dulu” Ajak ayah Ryan. “Nanti Ayah ceritakan di mobil.” Tambahnya.
Di perjalanan pulang, ayah Ryan pun menceritakan semuanya yang terjadi pada teman baru Ryan.
“Kamu sekarang sudah tahu apa yang terjadi pada Chacha, Ayah pinta
tolong jangan kamu ceritakan hal ini pada siapa pun. Ayah merasa berdosa
sekali sudah melanggar kode etik kedokteran dengan menceritakan kondisi
pasien Ayah ke kamu.” Pinta Ayah Ryan
“Iya Yah, aku ngerti kok aku janji ga akan bilang ke siapa pun.”
Keesokan harinya Ryan menghampiri Chacha yang sedang duduk termenung di depan kelas.
“Boleh duduk di sini?” Tanya Ryan.
Chacha tidak menjawab, Ia hanya menggeser posisi duduknya sebagai isyarat bahwa Ryan boleh duduk di sampingnya.
“Maaf ya Cha sebelumnya. Gue sudah tahu apa yang terjadi sama lo.” Ucap
Ryan mengawali pembicraan. “Kenapa kemarin lo bohong sama gue?”
Tambahnya.
“Gue sudah menduga. Bokap lo yang ngasih tahu ya?” Tebak Chacha. Ryan
pun menjawab dengan anggukkan kepala. “Gue nggak bermaksud bohong sama
lo, gue cuma nggak mau kalo lo dan yang lain tahu penyakit gue, lo semua
jadi kasihan sama gue. Karena umur gue sudah sebebtar lagi” Jelas
Chacha sambil menitihkan air mata. “Lo harus janji sama gue jangan
sampai ada yang tau tentang hal ini selain lo.” Pinta Chacha masih
dengan derai air mata.
“Ya gue janji gue nggak akan bilang hal ini ke siapa-siapa. Yang harus
lo tahu gue berteman dengan lo bukan karena gue kasihan atau iba sama lo
tapi gue peduli sama lo.” Jelas Ryan. “Sekarang lo hapus air mata lo,
gue yakin lo pasti bisa menghadapi semua ini.” Pinta Ryan. “Kalau lo ada
keluhan lo bisa bilang ke gue nanti gue sampaikan ke ayah gue.”
Tambahnya.
“Makasih Yan. Iya nanti kalo gue ada keluhan gue bilang ke lo.” Balas Chacha.
Tak lama kemudian bel pun berdering. Mereka memasuki ruang kelas untuk mengikuti pelajaran.
Hari demi hari berlalu, Chacha dan Ryan pun semakin akrab. Mereka sering
terlihat mengobrol bersama. Hal itu membuat hati Nindy sedikit cemburu
terhadap sahabatnya.
“Cha gue perhatiin kok lo sama Ryan semakin akrab ya?” Tanya Nindy. “Lo tahu kan kalau gue suka sama Ryan?” Tambahnya.
“iya gue tahu kok, lo cemburu ya? Jawab chacha dengan sedikit meledek.
“Gue lagi enggak mood ya buat bercanda.” Balas Nindy dengan sedikit kesal.
“Hehe santai aja Nin. Gue sama dia nggak ada apa-apa kok.” Jawab Chacha. “Gue cuma…” Nindy memutus pembicaraan.
“Cuma apa?” Cuma mau ngerebut Ryan dari gue?” Tanya Nindy kesal bercampur emosi.
“Ya ampun Nin, kok lo bisa berfikiran seperti itu sama gue?” Tanya Chacha dengan nada lebih tinngi dari sebelumnya.
Perseteruan di antara mereka pun tek dapat dihindari. Di tengah perseteruan tersebut tiba-tiba Chacha pingsan.
“Cha, Cha lo kenapa?” Ucap Nindy panik saat sahabatnya tergeletak di lantai.
Tak lama kemudian Nindy melihat Ryan yang sedang berjalan, Ia pun memenggilnya dan meminta bantuan.
“Chacha kenapa?” Tanya Ryan kepada Nindy panik.
“Gue juga nggak tahu tadi tiba-tiba dia pingsan.” Jawab Nindy masih panik.
“Ya sudah bawa dia ke rumah sakit, lo tolong kabarin ke orang tuanya ya.” Balas Ryan masih panik.
Kemudian mereka membawa Chacha ke rumah sakit. Ia pun langsung ditangani oleh Dokter Indra.
“Yah tolongin Chacha, tadi dia tiba-tiba pingsan!” Pinta Ryan.
“Ya” Jawab Dokter Indra. “Sekarang kamu berdo’a untuk kesembuhan temanmu ini” Tambahnya.
Chacha pun langsung dibawa ke ruang ICU untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif.
“Ryan, itu ayah lo?” Tanya Nindy.
“Iya itu ayah gue.” Jawab Ryan.
Tak lama kemudian kedua orang tua Chacha datang bersama Niken dan Sheila. Mereka langsung menghampiri Nindy dan Ryan.
“Chacha di mana?” Tanya Ibu Yulia dengan penuh kepanikan.
“Dia lagi di ICU. Tante sebenarnya Chacha sakit apa? Kok tante terlihat panik sekali?” Tanya Nindy.
“Dia mengidap kanker otak.” Jawab Ayah Chacha.
Seketika suasana menjadi sendu setelah mereka mendengar perkataan itu.
Mereka tidak menyangka Chacha mengidap penyakit yang mengerikan itu.
“Apa?” Tanya Nindy membangunkan kesunyian. Sheila, dan Niken serentak tidak percaya.
“Kenpa Chacha menyembunyikan ini semua?” Tambah Nindy dengan menitihkan
air mata. “Sahabat macam apa gue? Masa orang yang berarti di hidup gue
memikul beban yang berat gue nggak tahu?” Dengan air mata yang mengalir
lebih deras. “Gue nyesel banget tadi gue sempet ribut sama Chacha hanya
karena masalah sepele.” Ucap Nindy menyalahkan dirinya.
“Cukup Nin, kamu nggak perlu menyalahkan diri kamu sendiri. Ini sudah
takdir dari Yang Kuasa. Chacha bukannnya nggak mau ngasih tahu hal ini
ke kalian, Dia hanya takut bila dia cerita ke kelian, kalian menjadi iba
dan kasihan terhadapnya.” Jelas Ibu Chacha yang juga menitihkan air
mata.
Tak lama kemudian Dokter Indra keluar dari ruang ICU. Kedua orang tua Chacha beserta keempat sahabatnya menghampirinya.
“Gimana dok keadaan anak saya?” Tanya Ayah Chacha berusaha tenang.
“Kondisi putri anda semakin memprihatinkan. Presentase harapan hidupnya
kini hanya 40%. Cara untuk menyelamatkan Chacha hanya dengan melakukan
operasi. Itu pun bila berhasil.” Jelas Dokter Indra.
“Apa persyaratan yang harus kami penuhi agar operasi itu segera dilaksanakan?” Tanya Ayah Chacha.
“Anda silahkan ke bagian administrasi lalu menandatangani persetujuan operasi.” Jawab Dokter Indra.
Ayah Chacha pun segera menuju bagian administrasi untuk menyelesaikan
persyaratan operasi. Tak lama kemudian setelah persyaratan telah
dipenuhi Dokter Indra kembali bersama timnya untuk melakukan operasi.
“Operasi akan segera dilaksanakan, ini membutuhkan waktu sekitar 8 jam.
Saya berharap kepada Bapak dan Ibu serta adik-adik untuk mendoakan agar
operasinya berhasil.” Ucap Dokter Indra sesaat sebelum menuju ruang
operasi.
Sambil menunggu jalnnya operasi, kedua orang tua Chacha beserta
keempat sahabatnya tidah henti-hentinya berdoa untuk kelancaran operasi
dan keselamatan Chacha. Setelah berjam-jam menunggu Dokter Indra pun
keluar dari ruang operasi. Mereka pun langsung menghampirinya.
“Gimana Dok, apakah operasinya berhasil?” Tanya Ayah Chacha panik.
“Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar, sekarang kondisinya masih belum sadar.” Jawab Dokter Indra.
Tak lama kemudian Chacha pun sadar. Dokter Indra mengizinkan kedua orang
tuanya untuk menemuinya. Mereka pun masuk ke ruang dimana Chacha
dirawat bersama Nindy.
“Ibu, Ayah, Nindy maafin Chacha ya. Selama ini Chacha sudah banyak salah sama kalian.” Ucap Chacha.
“Iya Cha, maafin Ayah sama Ibu juga ya.” Balas Ayah Chacha.Ibu Chacha
hanya menitihkan air mata tidak sanggup melihat kondisi putrinya yang
terbaring lemah.
“Nggak ada yang perlu dimaafin Cha, seharusya gue yang minta maaf ke lo,
gue sudah ngecewain lo, gue sudah berfikiran negatif ke lo, gara-gara
gue lo jadi begini.” Balas Nindy juga dengan menitihkan air mata.
“Enggak Nin, ini bukan gara-gara lo, ini sudah takdir. Gue mau
klarifikasi masalah yang tadi, gue sama Ryan nggak ada apa-apa, gue Cuma
ngobrol tentang penyakit gue. Kalau ada keluhan gue cerita ke dia nanti
dia sampaikan ke bokapnya.” Ucap Chacha masih dengan berbaring.
“Iya Cha gue sudah lupakan itu semua. Masalah yang tadi udah lupain aja.
Sekali lagi maafin gue ya. Gue nyesel banget.” Ucap Nindy masih dalam
tangis.
“Bu, Yah, Nin, sekarang hapus air mata kalian, aku nggak mau lihat ada
kesedihan di sini. Ibu, Ayah sama Nindy harus janji jangan nangis lagi
walau apapun yang terjadi.” Pinta Chacha.
Kedua orang tua Chacha dan Nindy hanya mengangguk sebagai isyarat mereka
berjanji, sambil menghapus air mata yang membasahi wajahnya.
“Sekali lagi aku minta maaf ya, tolong sampoaikan maaf aku ke yang lain.” Pinta Chacha dengan sedikit terbata-bata.
Setelah mengucap kalimat tersebut, Chacha menghembuskan nafas
terakhirnya. Saat mengetahui garis pada elektrokardiograf membentuk
garis lurus 1800, tanpa berfikir panjang Nindy langsung berlari mencari
Dokter Indra agar dapat memberikan pertolongan kepada sahabat yang
sangat disayanginya itu. Namun sia-sia. Segala cara telah dilakukan
namun hasilnya tak seperti yang diharapkan. Nyawa Chacha sudah tidak
tertolong.
Kedua orang tua Chacha dan seluruh temannya berusaha untuk tidak
terlalu larut dalam kesedihan, walau air mata sempat menghiasi wajah
mereka. Mereka berusaha untuk menerima takdir dari Sang Khalik. Mereka
berdoa agar ruh Chacha diterima di sisi Allah dan mendapat tempat yang
layak di sisinya.