Minggu, 20 Oktober 2013

Boneka Lusuh

0

DI liburan yang lumayan panjang ini aku menyempatkan pergi berlibur ke puncak. Tepatnya pukul 06.00 pagi aku berangkat ke puncak bersama keempat kawanku, yaitu Andi, Nino, Wina dan Puri.
“Wihiii… Liburan ke puncak!” seru Nino sambil meloncat loncat kegirangan.
“Ih biasa aja lo No. sebenernya aku gak pingin sih liburan ke puncak, karena sudah sering banget aku kesini kalau liburan. Huft!” Keluh Wina.
Sebelumnya namaku Robert. Aku masih bersekolah di Sekolah Menengah Pertama. di daerah Jakarta Selatan. Dan di liburan ini aku mengajak kerabat dekatku untuk berlibur ke puncak dengan mobil pribadiku.
Sesampainya di villa kami langsung menaruh barang-barang kami di dalam villa tersebut. Villa yang lumayan kuno. Sebenarnya aku sudah merasakan hawa yang tidak enak di villa itu, tetapi ku hiraukan karena mungkin hanya perasaanku.
Di dalam villa yang cukup besar itu ada 5 kamar tidur, 2 kamar mandi, 1 dapur, 1 ruang tamu yang cukup luas dan megah dan 1 dapur. Di villa itu terdapat juga kolam renang tepatnya di halaman belakang.
“Win, sini deh, aku nemuin boneka unyu ini. Boneka anak kecil, sayangnya udah lusuh” kata Puri sambil menggendong boneka itu.
“Eh, taruh lagi boneka itu Pur! Itu bukan punya kita!”
“Iya, iya.. bakal aku kembaliin kok” kata Puri sambil memelas.
“Puri! Wina! Dimana kalian? Cepet kesini!” Teriakku dari ruang tamu.
Aku pun memberitahu mereka akan rahasia di villa ini bahwa ada seorang anak kecil Belanda yang meninggal karena bunuh diri dan arwahnya berada dalam suatu benda. Maka di villa ini dilarang mengambil barang yang bukan miliknya. Teman-temanku pun agak ketakutan saat mendengar ceritaku akan villa ini.
Malam pun tiba. Kami pun kelelahan sehabis berjalan-jalan ke daerah sekitar puncak yang asri dan indah. Dengan pohon rimbun, bunga-bunga terhampar pada sebuah taman, ditambah dengan langit yang cerah tanpa awan.
Aku, Andi, dan Nino sekamar di bagian kamar depan yang lumayan besar. Dan Puri dan Wina berada di kamar bagian tengah. Suasana rumah pun menjadi suram saat malam tiba.
Aku dibangunkan oleh Puri dan Wina yang menyusul karena mendengar bunyi-bunyi aneh dari bagian dalam rumah. Kami berlima pun tidur bersama.
Aku pun terbangun di tengah malam. Dan kulihat jam dinding menunjukkan pukul 01.15. Aku mendengar tangis anak kecil, sungguh membuat bulu kuduk merinding. Tapi tak kuhiraukan karena aku sebenarnya takut saat itu. aku pun terbangun untuk kedua kalinya di malam itu, suara itu semakin jelas terdengar. Aku mencoba untuk memeriksa keadaan. Kulihat ada boneka yang sangat lusuh tergeletak di sudut ruangan. “Kok ada boneka disini?” tanyaku dalam hati heran.
“Clakkk.. Claaakkk…. Clakkk.. Huuuhuuuhuuu… Huuu huuu huu..” suara aneh yang berasal dari boneka ini membuatku ketakutan setengah mati. “Tolong jangan ganggu aku! Tolong!”. Seorang anak kecil laki laki berparas pucat pasi dan memiliki banyak luka di sekujur tubuhnya mendekat dari sudut ruangan di mana boneka lusuh itu tergeletak. “Pergi dari sini, Pergi dari sini” suara mendesah hantu itu sangat membuatku ketakutan.
“Bbbb… bbaa…aik.. baik.. Ssss..saya akan pergi dari sini secepatnya!” Jawabku dengan terbata bata. Dan hantu itu pun lenyap, bersamaan dengan lenyapnya boneka lusuh itu. Aku pun segera lari terbirit-birit ke kamarku untuk membangunkan teman-temanku.
“Hoyy!! Andi! Nino! Wina! Puri!! Bangunn ceppeeett!!! Bangunn!!!” Sambil menepuk-nepuk badan tubuh temanku satu persatu.
“Ada apa sih Bert? Masi ngantuk nih!” Ucap Wina sambil mengucek ucek matanya. “Kita harus pergi dari sini! Sekarang!” Kataku dengan wajah panik. “Halah, kita kan baru 1 hari disini” Ucap Andi. “Pokoknya kita pulang sekarang! Sebelum hal yang buruk terjadi pada kita.”
Akhirnya teman-temanku pun setuju dengan perkataanku dan aku pun segera menyalakan mobil dan pergi dari villa itu. Sungguh tampak mengerikan villa itu dari luar. Aku pun melihat anak kecil Belanda itu sedang berdiri di depan pintu rumah sambil memegang boneka lusuh itu di tangan kirinya.

Hantu

0



“Aaaa jangan di cukur habis~!” teriak ku
“Ahahaha lucuuu… Ahaha. Lah kan udah perjanjiannya yang kalah cukur alis sampai abis.” ujar Gisha, teman satu kost ku.
“Ishhh… iya iya ya udah. Sebelah aja ya.”
“Beneran lo mau sebelah? Lebih aneh tau. Ahahah lucu banget kalau sebelah doang yang botak masa.”
“Ah. Ya udah deh, suka-suka lo Sha. Gue pasrah.”
Malam itu di kamar kami yang berukuran 7×6 m, kami habiskan dengan bercanda guyonan konyol karena besok sudah libur semester. Aku dan Gisha akan berpisah untuk sementara. Tidak lagi tidur satu kamar di kost-an, kami akan pulang ke rumah kami masing-masing. Aku duduk di depan meja rias dengan terpaku. Membiarkan Gisha menyelesaikan hukumannya pada ku. Saat itu tepat jam 12 malam. Tapi mata kami sama sekali tidak mengantuk. Selesai mencukur habis alis ku, bergosip hal yang tidak penting, menghabiskan snack di atas kasur, akhirnya kami berdua berniat untuk mencoba tidur. Lampu kamar akhirnya kami padamkan.
“Astaga!!!.” ucap ku sangat kaget.
“Kenapa Da?” tanya Gisha dalam kegelapan kamar.
“Itu di luar siapa Sha?”
“Siapa?”
“Ituuuu… di jendela~”
“Mana?” tanya Gisha lagi sambil celingak-celinguk mendekati satu-satunya jendela di kamar kost kami. Jendela cukup besar, dan bisa di dorong terbuka ke arah luar. Sisi luar jendela langsung terhubung dengan teras depan kamar yang kadang beralih fungsi menjadi area jemur pakaian. Di teras itu setiap malam selalu di hidupkan satu lampu neon agak redup bercahaya agak kuning. Ibu kost yang selalu rajin menghidupkannya setiap magrib, dan mematikannya setelah cahaya matahari merambat di teras, sekitar pukul 8.
“Gue gak liat apa-apa Da.” lanjut Gisha.
“Ah tau ah. Becanda lo gak lucu. Udah bodo amat. Tidur ajalah.” jawabku. Sebenarnya aku melihat sesosok wanita muda, umurnya sepertinya sama dengan kami, sedang berdiri tepat di depan jendela, dan memandang ke arah kamar. Sejujurmya aku takut. Tapi juga bingung. Siapa wanita itu. Tapi kenapa Gisha gak ngeliat cewek itu. Jelas-jelas cewek itu tepat di depan jendela, tanpa harus berpindah posisi untuk mendapatkan enggel pandangan yang tepat pun, seharusnya Gisha sudah bisa melihat sosok wanita itu. Tapi aku juga ragu, Gisha sedang berbohong untuk membuat aku ketakutan sendiri atau tidak ya? Apalagi aku yang sudah satu kamar kost satu tahun lebih dengannya, sudah tahu watak jahilnya seperti apa. Tapi kalau aku ingat-ingat, aku pernah dengar mitos, kalau orang yang mencukur alisnya habis di tengah malam, akan dapat melihat hantu. Jangan-jangan mitos itu benar. Tapi aku tidak tahu pasti.
Aku sedang duduk di ruang tengah rumah ku, mencoba menikmati masa-masa santai liburan kuliah ku. Tapi bagaimana bisa santai kalau wanita di jendela kost malam tadi sekarang ada di sebelah ku, duduk di sofa yang sama dengan ku. Aku hanya diam. Aku hanya sesekali menoleh ke arahnya dengan canggung, dan ia pasti membalas dengan menoleh juga ke arah ku dengan wajah datar tak bersalahnya. Dibanding takut, perasaan ku lebih condong ke bingung. Bagaimana aku bisa takut kalau setiap ia menoleh ia malah tersenyum manis padaku layaknya sahabat lama, wajahnya pun tidak seperti hantu (malah cantik, bisa dibilang jika ia menjadi siswi SMA, ia akan menjadi siswi populer atau ketua tim cheerleaders atau semacamnya) walaupun sekarang aku sudah tahu kalau wanita ini adalah hantu. karena sejak tadi pagi aku bangun di kamar kost-ku, aku sudah mendapati dia masih berdiri di depan jendela itu. Saat aku berjalan membawa koper untuk mencari taksi menuju rumah, ia mengikuti langkah ku di samping ku dalam diam, saat aku masuk ke taksi ia juga ikut bersama ku. Lalu supir taksi menegur ku basa-basi ‘sendirian aja mba?’. Di detik itu aku mendapat bukti konkret yang dapat aku percaya kalau hanya aku yang dapat melihatnya. Saat sampai di rumah pun, orang rumahku tidak ada komentar apa-apa tentang sesosok wanita yang terus mengikuti ku. Jika saja orang rumah ku bisa melihat, mereka pasti sudah menyambutnya layaknya tamu dengan memberi makan dan minum, tapi scene itu tidak terjadi. Itu lah bukti konkret kedua, kalau sosok yang mengikuti ku ini adalah hantu.
karena aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku tidak mau di ikuti terus oleh sosok yang tak nampak di mata orang lain, apalagi ia juga mengikutiku sampai ke kamar mandi. Aku tidak bisa terus diam dan membiarkannya mengikuti ku sepanjang sisa hidup ku. Akhirnya aku memberanikan diri menyapanya.
“Hai.” ucap ku ragu.
“Hai.” jawab sosok itu dengan sopan dan ceria.
“Lo siapa?”
“Rosa.”
“Ah jadi nama lo Rosa.”
“Um” respon Rosa sambil tersenyum ke arah ku.
“Kenapa lo ngikutin gue terus dari kost an tadi sampai ke sini?”
“Gue punya permintaan ke lo.” ucap hantu itu sambil mendekatkan manja wajahnya ke wajahku.
“Pe… pe… per…permintaan?” Tanya ku bingung.
“Iya.”
“Lo harus kabulin.”
“Kenapa gue harus kabulin?”
“Ya kalau gak, gue gak akan pergi dari lo.”
Wah hantu ini, benar-benar, tahu juga dia sama yang namanya ‘ancaman’. Dulu semasa hidup, mungkin dia preman perempuan kali ya. Pikir ku.
“Emang lo mau apa?”
“Motor.”
“Motor? Ahahah. Emang lo mau naik motor?” aku spontan tertawa mendengarnya. Memangnya dia bisa apa ke surga dengan mengendarai motor. Pikir ku. Kenapa gak sekalian delman saja?
“Iya. Mau. Motor.” jawabnya singkat.
“Ya udah lo ambil deh tuh motor Papa gue di depan, lo bawa yang jauh ya, gak usah balik-balik lagi ke gue.” ujarku.
“Bukan motor yang itu.”
“Terus yang mana?”
“Ada. Motornya keluaran lama. Sekarang di pake pak ujang, tukang ojek pertigaan di depan komplek.”
“Lah?! Lo kenal pak ujang juga?” tanya ku heran. Kok nampaknya wanita ini sudah tahu banyak ya padahal baru mengikuti ku kurang dari sehari.
“Gue mau motor itu pokoknya.” ucap hantu itu tegas.
“Nah itu lo udah tau motornya ada dimana. Ya udah gih sana lo baawa sendiri.” jawab ku enteng.
“Heh. Lo pikir hantu bisa bawa motor? Lo yang harus kendarain. Gue dibonceng di belakang~.”
Mau tidak mau aku harus mengabulkan permintaan aneh hantu ini. Padahal aku sudah bilang, mustahil untuk meminjam motor pak ujang, aku tidak begitu kenal dekat dengannya, aku hanya sekedar tau dia saja, tidak sampai ke titik saling percaya untuk meminjamkan barang-barang berharga milik pribadi. Tapi Rosa terus mendesak, dan berulang-ulang memperingati ku dengan ancamannya yang tidak akan berhenti mengikutiku. Alih-alih ia malah memberiku saran untuk mencuri motor pak ujang hanya untuk sehari saja. Benar-benar hantu aneh. Tapi aku lebih aneh karena menuruti sarannya. Ini demi ia hilang dari keseharianku.
Dan dengan bekal ilmu kunci T seadaanya yang aku baca dari internet aku memberanikan diri memasuki pekarangan rumah pak ujang malam itu. Rumah pak ujang memang tidak mempunyai pagar, jadi mudah saja bagi ku untuk membawa keluar-masuk motor. Terlebih lagi, motor ini adalah motor tua yang miskin sistem safety anti maling-nya. Alhasil bocah ingusan macam ku berhasil membondol motor tua ini. Haha. Perasaan bangga timbul di hati ku sejenak, setelah berhasil menghidupkan mesin motor itu.
“Sekarang kita mau kemana?” ucapku berbisik ke Rosa.
“Puncak.” jawabnya.
“Hah? Gila kali!.” protes ku sambil masih dalam volume suara amat kecil.
“Udah jalan aja.” ujar Rosa.. Dan lagi-lagi mau tak mau aku menurutinya.
Sejam sudah aku mengendarai motor di tengah malam dengan terpaan angin yang dingin serta membonceng sesosok hantu wanita. Tidak pernah aku bayangkan adegan seperti ini mampir di kehidupanku.
“Haaah… kalau begini, aku bisa pulang jam berapa coba?” keluhku di tengah perjalanan. Sebenarnya dalam hitungan belasan menit lagi, kami sudah akan sampai di puncak pas. Tapi mengingat badan yang pegal, aku tidak bisa bayangkan bagaimana perjalanan pulang nanti. Apalagi sudah dini hari. Aku takut jika Papa dan Mama tahu. Komentar apa yang akan keluar dari mulut mereka.
“Mau pulang jam berapa terserah adek, mau pulang pagi juga boleh. Selama sama kamu mah, mau main-main berapa lama juga kakak gak akan bosen.” ucap Rosa.
Saat mendengar kalimat itu, saat itu juga ingatan masa lalu ku terbuka. Aku merinding. Scene seperti ini pernah aku alami sebelumnya. Ini seperti dejavu. ‘Mau pulang jam berapa terserah adek, mau pulang pagi juga boleh. Selama sama kamu mah, mau main-main berapa lama juga kakak gak akan bosen’ aku ingat. Dua tahun lalu aku diajak kakak ku menghabiskan malam tahun baru di puncak, hanya berdua, kami mengendarai motor. Motor ini tepatnya. Dari awal desember kak Rosa sudah berjanji akan bermain ke puncak dengan ku. Sampai akhirnya, kalimat itu, menjadi kalimat terakhir kakak sebelum ia meninggal karena kecelakaan.
Malam itu sebenarnya malam yang indah di malam tahun baru, langit yang bersih, semua bintang terlihat oleh mata. Tapi satu kejadian sial menimpa aku dan kak Rosa, truk besar oleng tepat di belakang motor yang kami kendarai. Hingga akhirnya motor kami tertabrak dari belakang. Sekarang aku ingat semuanya.
“Kakaaaak~?!!” ucapku gemetar. Aku rindu padanya. Aku baru menyadari sosok hantu ini adalah kakak-ku yang sudah meninggal. Air mata pun menetes deras tanpa ku sadari.
“Kamu jangan nangis. Kendarai motornya dengan baik, biar kakak bisa tepati janji kakak nemenin kamu main di puncak sana.” ucapnya penuh kehangatan.
Aku terus mengendarai motor itu, hingga kami sampai di puncak tertinggi. Kami duduk di tanah berumput, aku membaringkan tubuhku ke tanah, agar dapat lebih jelas menikmati indahnya bintang-bintang. Kak Rosa pun ikut berbaring di sebelah ku.
“Kemana saja kamu selama ini?” tanya ku.
“Di sini.” jawabnya.
“Huh? Di puncak ini?”
“Ahaha. Bukan. Di sebelah kamu.”
Aku tertegun. Aku menoleh ke arahnya.
“Sebenarnya malam itu, di jendela kost. Aku sedikit kecewa. Kamu tidak mengenali ku saat kamu melihat wajah ku lagi setelah dua tahun yang panjang ini.”
“Bukan begitu. Aku pun baru ingat. Papa dan Mama pernah bawa aku ke psikater.”
“Ngapain?”
“Setiap hari setelah kakak gak ada, aku nangis terus. Aku ngerasa gak adil kenapa kita di motor yang sama tapi luka kecelakaan yang kita dapet bisa berbeda. Kakak begitu parah sampai akhirnya meninggal di TKP. Aku berlarut-larut dalam kesedihan.”
“Terus? Kamu sampai gila? Di bawa ke psikiater gitu.”
“Bukaaan! Enak aja. Katanya kakak di samping aku terus, kok ini aja gak tau?”
“Ahahah sorry sorry. Bercanda. Ummm, mungkin waktu itu kakak lagi ke toilet kali, jadi gak liat kamu di bawa ke psikiater. Ahahah.”
“Diiih, emang hantu BAB juga?” tanya ku polos, percaya tidak percaya.
“Ahahah gak deng. Mungkin itu kejadiannya sebelum 40 hari Da, jadi aku belum ada.”
“Oh gitu. Iya. Gara-gara aku yang terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, akhirnya Mama Papa bawa aku untuk di hipnotis. Supaya ilangin semua memori tentang kakak di otak aku. Jadi selama dua tahun belakangan ini aku pikir aku anak tunggalnya Papa Mama loh kak.”
“Oooh begitu. Pantes, di rumah foto keluarga kita gak pernah di pajang lagi.”
“Iya. Setelah aku inget ini, aku jadi agak marah sama Papa Mama. Kenapa mereka tega ilangin ingetan aku tentang kakak. Mau gimana juga kan, kak Rosa itu kakak aku.”
“Kamu harus ngerti Dek, Papa Mama lakuin ini semua buat kebaikan kamu. Sekarang kamu pulang deh.”
“Ya deh, ayok kita pulang.”
“Kita? Kamu aja kali.”
“Apaan sih kak? Gak lucu tau.”
“Aku serius. Kamu pulang ke rumah. Aku pulang kesana sekarang.” ujar Kak Rosa sambil menunjuk ke arah langit, ke arah bintang-bintang yang bersinar indah.
“Kakak gak akan ngikutin aku lagi?” tanya ku sedikit lirih. Kak Rosa menjawab hanya dengan menggelengkan kepalanya. Dan aku pun pasrah, aku sadar kami sudah ada di dimensi yang berbeda. Aku kembali menaiki motor pak Ujang (yang dulunya motor Kak Rosa. Setelah kecelakaan Papa memberi motor itu ke Pak Ujang. Juga dalam rangka menghapus ingatanku tentang kecelakaan itu).
Aku menghidupkan mesin, dan bersiap pulang dengan membesarkan hati.
“Sampaikan salam terima kasih ku pada Gisha yang telah mencukur habis alis mu ya.” ucap Kak Rosa seraya melambaikan tangan saat aku beranjak pergi. “Kamu lucu dengan wajah tanpa alis adikku~”

Kata Maaf Terakhir

0

Di pagi hari dengan cuaca yang tidak bersahabat, awan hitam menyelimuti langit biru yang cerah diseratai dengan rintikan hujan, Nindy siswi teladan SMA ATHENS yang kini duduk di kelas IX sudah bersiap–siap untuk pergi ke sekolah dengan Jazz kesayangannya. Sesampainya di sekolah.
“Pagi pak!” Sapa Nindy kepada petugas keamanan dari dalam mobilnya saat memasuki gerbang sekolah.
“Pagi juga neng! Parkirnya di sebelah sana ya!” Jawab Pak Didi sambil menunjukkan arah dengan tangannya.
“Sip Pak!” Balas Nindy.
Nindy pun memarkirkan mobilnya. Setelah itu Ia segera menuju ruang kelasnya. Dari balik pintu sudah terlihat ketiga sahabat karibnya yang tak lain ialah Chacha, Sheila, dan Niken yang sedang membicarakan sesuatu yang kelihatannya begitu seru.
“Pagi semua!” Sapa Nindy ceria kepada teman-temannya.
“Pagi! Tumben lo baru datang, biasanya lo duluan yang datang daripada kita?” Tanya Sheila
“Iya tadi gue kesiangan, Maklumlah mendung. Yaa otomatis gue berangkatnya agak telat, terus jalanan macet, untung aja gue ggak telat.” Jelas Nindy.
“Ya namanya juga Jakarta, kalo eggak macet bukan Jakarta.” Tambah Niken.
“terus apa namanya?” Tanya Chacha.
“Nggak perlu di bahas Ok!” Jawab Niken. Diiringi tawa kecil yang lain.
“Eh gue ke kantin dulu ya, mau beli air mineral, lupa tadi ga kebawa. Ada yang mau titip?” Tanya Nindy menawarkan kepada sahabatnya.
“Nggak usah deh, makasih!” Jawab Sheila.
“Ya sudah gue keluar dulu ya!” Pamit Nindy.
Nindy pun meninggalkan kelas dan menuju kantin Bu Fira. Setelah Ia sudah mendapatkan air mineral, Ia kembali ke kelas dengan tergesa–gesa karena bel yang mennadakan tanda masuk sudah berdering.
“Duh abis deh geu kalo Pak Gozali udah sampai di kelas duluan.” Gumam Nindy dalam benaknya.
Karena terlalu tergesa-gesa, sampai Ia tidak melihat seorang pria tinggi dengan paras menawan sedang berjalan dari arah yang berlawanan. Nindy secara tidak sengaja menabrak pria tersebut hingga mereka terjatuh.
“Aduh!” Seru pria itu.
“Maaf, maaf! Gue nngak sengaja, gue lagi buru-biru nih.” Jawab Nindy.
“Oh iya iya gapapa kok. Kalo boleh tanya ruang Kepala Sekolah di mana ya?” Tanya pria tampan dengan sedikit terengah-engah.
“Ruangan Kepala Sekolah di sana, lurus aja ada tulisannya kok.” Jawab Nindy dengan penuh kepanikan sambil mengarahkan tangannya ke arah kanan.
“Ya makasih ya.” Ucap pria tampan itu.
“Ya sama-sama” Balas Nindy dengan suara lebih keras sambil berlari.
Tak lama kemudian Ia pun sampai di depan kelas. Dari balik pintu Ia sedikit mengintip ke dalam untuk melihat apakah Pak Gozali sudah sampai di ruangan atau belum.
“Ya Tuhan lindungilah hamba-Mu ini dari hukuman Pak Gozali.” Doa Nindy dalam benaknya sebelum memasuki kelas.
Ia pun secara perlahan-lahan memesuki kelas. Dengan perasaan berdebar-debar. Ia segera mengarahkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan trersebut untuk mengetahui keberadaan Pak Gozali.
“Alhamdulillah beliau belum datang, terima kasih ya Allah.” Ucap Nindy dalam benaknya sambil menempatkan tangan kanannya di dadanya.
“Kenapa lo kok kelihatannya tegang banget?” Tanya Sheila.
“Gimana nggak tegang, sekarang kan pelajarannya Pak Gozali. Kalo gue sampai telat masuk sedikit aja habis gue dijemur di lapangan. Dia belum datang kan?” Jelas Nindy.
“Belum kok! Mungkin karena habis hujan terus jalanan macet, jadinya becek deh!” Tambah Chacha.
“Iya tuh mungkin kejebak banjir.” Tambah Niken.
Tak lama kemudian datang sosok pria tinggi, bertubuh tegap, dan terlihat sedikit jutek dari balik pintu. Pria itu tak lain ialah Pak Gozali. Suasana kelas pun berubah sesaat dari yang sebelumnya sedikit gaduh menjadi sunyi ketika Ia datang. Tak ada seorang pun yang berani mengeluarkan sepatah kata kecuali Richo sang ketua murid yang memberikan komando kepada teman-temannya.
“Bersiap! Memberi salam!” Ucap Richo.
Mendengar perintah tersebut, serentak seluruh siswa mengucapkan salam. Setelah itu Pak Gozali mengabsen siswa-siswi. Lalu Beliau melanjutkan menjelaskan materi minggu lalu mengenai teknologi reproduksi. Di tengah penjelasannya tiba-tiba Ia mengajukan pertanyaan.
“Ada yang masih ingat, hewan apa yang pertama kali di cloning?” Tanyanya dengan sedikit penegasan.
“Domba Dolly pak!” Jawab Nindy.
“Benar sekali. Sekarang, siapa yang dapat menjelaskan bagaimana proses pengkloningan pada hewan tersebut?” Tambahnya.
Seluruh siswa hanya terdiam mendengar pertanyyan tersebut.
“Ya sudah, mungkin kalian lupa. Sekarang silahkan buat kelompok masing-masing empat orang dan diskusikan!” Perintahnya.
Mendengar perintah tersebut, seluruh siswa dalam ruangan tersebut langsung membalikkan kursi mereka. Begitu pula dengan Nindy dan Chacha, mereka memutar kursinya 180 derajat hingga mereka berhadapan dengan Sheila dan Niken.
Disela–sela diskusi Sheila melihat Nindy penuh keheranan.
“Woy kenapa lo? Kok dari tadi gue perhatiin lo senyum-senyum sendiri?” Tanya Sheila.
“Cie lagi seneng ya? Cerita dong!” Bujuk Niken diiringi tawa kecil.
“aduh gue bingung ceritanya dari mana, yang jelas perasaan gue hari ini seneng banget.” Jawab Nindy penuh kegembiraan disertai tawa kecil.
“Gue tau pasti lo sekarang lagi jatuh cinta ya?” Tebak Chacha.
“Ih apaan sih lo Cha? Nggak kok!” Jawab Nindy dengan sedikit malu.
“Ih pake ngebohong, sudah jujur aja! Lo itu nggak bisa bohong sama gue, dari mata lo aja sudah kelihatan klo lo lagi jatuh cinta. Mungkin lo bisa ngebohongin yang lain tapi gue enggak. Gue sahabat lo dari lo kecil, dari kita belum sekolah.” Jelas Chacha.
“Hehe Iya deh gue nyerah. ” Jawab Nindy dengan sedikit malu.
“Cie cie sama siapa Nin?”Tanya Niken dengan penuh penasaran.
“Gue nggak tahu dia siapa, kayaknya sih anak baru. Soalnya gue baru kali ini ngelihat dia.” Jelas Nindy dengan wajah sedikit kemerah–merahan.
“Cie…! Berarti lo jatuh cinta pada pandangan pertama dong? Cie cie” Ejek Sheila.
“Jarang-jarangkan seorang Nindy Aditya Putri, seorang putri sekolah jatuh cinta! Beruntung banget tuh orangnya.” Tambah Chacha.
“Ih apaan sih kalian! Udah ah udah jangan bahas sekarang.” Jawab Nindy sambil melirik ke arah Pak Gozali yang sedari tadi memperhatikan mereka.
“Pokoknya nanti certain ya siapa yang sudah membuat lo jatuh cinta.” Pinta Niken.
“Iya bawel.” Jawab Nindy
Mereka pun melanjutkan diskusi hingga jam pelajaran Pak Gozali selesai.
Kemudian mereka melanjutkan dengan mata pelajaran lain. Setelah pikul 16.00 WIB bel bordering, yang menunjukkan bahwa kegiatan KBM sudah berakhir. Siswa-siswi pun meninggalkan kelas dan bergegas kembali ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya, seperti biasa Nindy sudah bangun saat sang fajar masih malu-malu menampakkan dirinya. Ia segera bersiap-siap pergi ke sekolah. Ia tidak dapat bersantai-santai karena kondisi jalan Ibu Kota tidak dapat diprediksikan. Setelah seluruh persiapan selesai, Ia tidak lupa untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya yaitu Bapak Ferdy dan Ibu Lian sebelum Ia pergi ke sekolah.
Sesampainya di SMA ATHENS sambil menunggu bel, Nindy dan ketiga sahabatnya melanjutkan pembicaraan yang lalu mengenai siapa yang membuat Nindy jatuh cinta. Disela-sela pembicaraan, terdengar bel yang menunjukkan bahwa KBM segera dimulai. Tak lama kemudian seorang lelaki paruh baya memasuki kelas tersebut, yaitu Pak Cece, yang tak lain ialah guru BK. Serentak seluruh siswa memberikan salam kepadanya.
“Pagi ini kalian kedatangan siswa baru pindahan dari Bandung.” Ujar Pak Cece.
Kemudian Ia memanggil seorang laki-laki tampan dari balik pintu. Ketika lelaki itu masuk suasana kelas menjadi gaduh.
“TENANG-TENANG!! Saya harap kalian bias tenang!” Ucap Pak Cece.
Seketika suasana kelas menjadi lebih tenang.
“Sekarang silahkan perkenalkan diri kamu!” Pinta Pak Cece kepada murid baru tersebut.
“Selamat pagi semuanya! Nama saya Ryan Anugrah, kalian bisa panggil saya Ryan.” Ucap Ryan.
“Sekarang silahkan kamu cari kursi yang masih kosong.” Ucap Pak Cece mempersilahkan Ryan untuk duduk. “Untuk perkenalan lebih lanjut nanti kalian bisa tanya langsung.” Tambahnya.
”Sekarang pelajaran apa?” Tanya Pak Cece pada Richo.
“Olahraga Pak.” Jawab Richo.
“Ya sudah sekarang kalian ganti baju lalu langsung ke lapangan, guru kalian sudah menunggu disana.” Ucap Pak Cece sebelum meninggalkan kelas tersebut.
Kemudian Pak Cece meninggalkan kelas tersebut. Ryan pun segera menuju kursi yang masih kosong. Saat menuju kursi tersebut Ia melewati kursi Nindy, dan tersenyum padanya.
Tanpa disadari Nindy, Chacha sedari tadi memperhatikan tingkah laku Nindy yang sejak tadi tersenyum tepatnya ketika Ryan memasuki kelas.
“Dia ya orangnya?” Tanya Chacha.
“Maksudnya?” Tanya balik Nindy.
“Ia dia kan yang sudah membuat hati lo jadi berbunga-bunga?” Tebak Chacha.
“Hehe Iya.” jawab Nindy sedikit malu-malu. “Kok lo bisa tahu sih?” Tanya Nindy heran.
“Kelihatan dari tingkah laku lo.” Jelas Chacha singkat. “Ya sudah yuk ganti baju!” Tambah Chacha.
Kemudian mereka dan siswa yang lain mengganti pakaian putih abu-abu dengan pakaian olahraga. Setelah itu mereka berkumpul di lapangan. Sesampainya di sana mereka diperintahkan untuk bermain basket. Karena sudah merasa lelah bermain basket, mereka memutuskan untuk beristirahat. Di tengah istirahat, tiba-tiba Ryan menghampiri Nindy yang tengah asyik bersama ketiga sahabatnya. Ryan pun memperkenalkan dirinya kepada Nindy, Chacha, Sheila, dan Niken.
“Hai!” Sapa Ryan. Maaf ya kemarin gue ga sengaja nabrak lo sampai lo jatuh, ada yang luka nggak?” Tambahnya.
“Nggak papa ko, nggak ada yang luka. Lagi pula kemarin kan yang nabrak gue bukan lo” Jawab Nindy. “Kalo boleh tahu, kenapa lo pindah sekolah?” Tambahnya.
“Gue dulu ikut nenek gue, kasihan nenek gue sendiri. Belum lama ini Beliau meninggal, ya sudah gue balik tinggal sama orang tua gue, terus disekolahin disini.” Jelas Ryan.
“Oh maaf ya, jadi mggak enak. Lo cucu kesayangannya ya?” Balas Nindy.
“Nggak papa kok. Gimana ya gue kan cucu satu-satunya.” Jawab Ryan.
“Oh, pasti nenek lo sayang banget sama lo.”
Mereka pun melanjutkan pembicaraan hingga menyinggung topik yang lain. Di tengah-tengah perbincangan terdengar bunyi bel, mereka pun menyudahi obrolan dan segera mengganti pakaian. Setelah itu mereka melanjutkan pelajaran hingga akhir. Ketika bel berdering Nindy dan ketiga sahabatnya pulang bersama.
Di tengah-tengah perjalanan sambil mrndengarkan musik kesukaan mereka mereka membicarakan sesuatu.
“Cie Nindy, tadi ngobrolin apa saja sama Ryan?” Ledek Niken.
“Ih apaan si lo Ken! Tadi gue cuma nanya alasan dia pindah sekolah terus gue ceritain keadaan sekolah kita.” Jawab Nindy.
“Cha, lo kenapa dari tadi diam saja, terus muka lo kok agak pucat sih?” Tanya Sheila khawatir.
“Nggak papa kok cuma pusing sedikit.” Jawab Chacha lemas.
“Gue perhatiin, kok lo sering banget pusing? Sakit apa?” Tanya Nindy cemas sambil melirik ke arah Chacha yang duduk di sampingnya.
“Nggak, nggak ada sakit kok! Ya mumgkin karena kelelehan aja kali.” Jawab Chacha.
Nindy pun mengantarkan Chacha hingga pintu rumahnya, kemudian Ia melanjutkan mengantar Sheila dan Niken.
Sesampainya di rumah, kedua orang tua Chacha sangat khawatir melihat keadaan putri tunggalnya yang pucat pasi. Tanpa berfikir panjang, mereka membawanya ke rumah sakit tempat di mana keluarga Chacha memeriksa kesehatannya.
Sesampainya di rumah sakit, Chacha diperiksa oleh Dokter Indrawan yang akrab di sapa dokter Indra yang tak lain ialah dokter pribadi keluarga Nasution, keluarga Chacha. Setelah Chacha selesai diperiksa, Dokter Indra meminta Bapak Zainal Nasution dan Ibu Yulia Nasution menemuinya di ruangannya.
“Maaf sebelumnya saya harus mengatakan ini kepada Bapak dan Ibu, kondisi putri Anda sudah semakin parah, saya khawatir apabila operasi tidak segera dilaksanakan, hal ini bisa mengancam keselamatan putri anda.” Jelas Dokter Indra.
“Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkan putri kami selain operasi?” Tanya Ibu Yulia sambil menitihkan air mata.
“Tidak ada cara lain lagi karena kondisi putri Ibu sudah memasuki stadium akhir. Itu pun bila operasinya berhasil.” Jawab Dokter Indra.
“Maksud dokter?” Tanya Bapak Zaenal khawatir.
“Ia bila operasinya berhasil ada dua kemungkinan, yaitu Ia akan kembali seperti sedia kala atau ia tetap hidup dengan lupa ingatan atau yang disebut amnesia.” Jelas Dokter Indra. “Dan apabila operasinya tidak segera dilaksanakan atau gagal maka putri ibu tidak dapat diselamatkan atau ada keajaiban dari Yang Kuasa.” Tambahnya.
Mendengar perkataan tadi air mata Ibu Yukia mengalir semakin deras.
“Kapan operasi itu bisa dilaksanakan?” Tanya Bapak Zaenal.
“Itu tergantung kesiapan Anda dan putri Anda, saran saya lebih baik secepatnya.” Jawab Dokter Indra.
Di tempat yang berbeda tepatnya di ruang tunggu dalam waktu yang bersamaan, Chacha secara tidak sengaja melihat Ryan yang sedang berjalan.
“Ryan Ryan!!” Panggil Chacha.
Mendengar itu Ryan mencari asal suara tersebut. Ia mengarahkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan tersebut. Lalu Ia melihat sosok Chacha yang sedang berdiri. Ia pun menghampirinya.
“Eh lo Cha yang tadi manggil gue? Ngapain lo di sini?” Tanya Ryan.
“Ya gue yang manggil lo. Gue di sini habis check-up sekarang lagi nungguin orang tua gue, dari tadi belum keluar-keluar.” Jawab Chacha. Lo sendiri ngapain?” Tambahnya.
“Orang tua lo belum keluar dari mana? Tanya Ryan. Gue mau jemput bokap gue mobilnya lagi di bengkel.” Jelas Ryan.
“Dari ruangannya Dokter Indra.” Jawab Chacha.
“Dokter Indara siapa? Bokap gue kan dokter juga disini terus namanya dokter Indrawan.” Jelas Chacha.
“Dokter Indra yang ruangannya di sebelah sana.” Balas Chacha sambil menunjuk ke arah ruangan yang berda tak jauh dari tempatnya menunggu.
“Loh itu kan ruangannya bokap gue.” Balas Ryan.
“Serius lo?” Tanya Chacha seolah tidak percaya.
“Serius lah ngapain sih gue bohong.” Jelas Ryan. “Siapa yang sakit? Lo Cha?” Tambahnya.
Chacha hanya terdian mendengar pertanyaan tersebut. Ia bimbang apakah Ia harus mengatakan yang sejujurnya tentang penyakitnya atau tidak. Ia khawatir apabila Ia mengtakan yang sejujurnya orang-orang yang berada di dekatnya hanya iba terhadapnya. Belum sempat Ia menjawab, Dokter Indra bersama kedua orang tuanya datang dan menghampiri mereka.
“Eh itu orang tua gue sama Dokter Indra sudah keluar.” Ucap Chacha sambil menunjuk ke arah orang tuanya.
“Cha kok lo nggak jawab pertanyaan gue sih?” Tanya Ryan.
“Oh, enggak kok gue cuma sakit kepala biasa saja kok.” Jawab Chacha agak ragu.
Kemudian Dokter Indra bersama kedua orang tua Chacha datang menghampiri.
“Kalian sudah saling kenal?” Tanya Dokter Indra kepada putraya dan Chacha.“Pak, Bu perkenalkan ini putra saya.” Tambahnya.
Ryan pun bersalaman pada orang tua Chacha sebagai tanda perkenlan.
“Ya sudah kalau begitu Dok kami pamit pulang dulu karena sudah malam.” Ucap Bapak Zaenal.
“Ya hati-hati Pak!” Balas Dokter Indra diiringi senyum. “Chacha jangan lupa istirahat ya.” Pesan Dokter Indra kepada Chacha.
Chacha pun hanya mengangguk. Kemudian mereka meninggalkan tempat tersebut.
“Kasihan temanmu, di usianya yang masih terbilang muda Dia harus menghadapi kenyataan pahit.” Ucap Dokter Indra kepada putranya.
“Maksud ayah apa?” Tanya Ryan tak mengerti.
“Iya, dia mengidap kanker otak, sudah stadium akhir.”Jawab Ayah Ryan.
“Apa?” Ucap Ryan tak percaya.
“Ya sudah sekarang kita pulang dulu” Ajak ayah Ryan. “Nanti Ayah ceritakan di mobil.” Tambahnya.
Di perjalanan pulang, ayah Ryan pun menceritakan semuanya yang terjadi pada teman baru Ryan.
“Kamu sekarang sudah tahu apa yang terjadi pada Chacha, Ayah pinta tolong jangan kamu ceritakan hal ini pada siapa pun. Ayah merasa berdosa sekali sudah melanggar kode etik kedokteran dengan menceritakan kondisi pasien Ayah ke kamu.” Pinta Ayah Ryan
“Iya Yah, aku ngerti kok aku janji ga akan bilang ke siapa pun.”
Keesokan harinya Ryan menghampiri Chacha yang sedang duduk termenung di depan kelas.
“Boleh duduk di sini?” Tanya Ryan.
Chacha tidak menjawab, Ia hanya menggeser posisi duduknya sebagai isyarat bahwa Ryan boleh duduk di sampingnya.
“Maaf ya Cha sebelumnya. Gue sudah tahu apa yang terjadi sama lo.” Ucap Ryan mengawali pembicraan. “Kenapa kemarin lo bohong sama gue?” Tambahnya.
“Gue sudah menduga. Bokap lo yang ngasih tahu ya?” Tebak Chacha. Ryan pun menjawab dengan anggukkan kepala. “Gue nggak bermaksud bohong sama lo, gue cuma nggak mau kalo lo dan yang lain tahu penyakit gue, lo semua jadi kasihan sama gue. Karena umur gue sudah sebebtar lagi” Jelas Chacha sambil menitihkan air mata. “Lo harus janji sama gue jangan sampai ada yang tau tentang hal ini selain lo.” Pinta Chacha masih dengan derai air mata.
“Ya gue janji gue nggak akan bilang hal ini ke siapa-siapa. Yang harus lo tahu gue berteman dengan lo bukan karena gue kasihan atau iba sama lo tapi gue peduli sama lo.” Jelas Ryan. “Sekarang lo hapus air mata lo, gue yakin lo pasti bisa menghadapi semua ini.” Pinta Ryan. “Kalau lo ada keluhan lo bisa bilang ke gue nanti gue sampaikan ke ayah gue.” Tambahnya.
“Makasih Yan. Iya nanti kalo gue ada keluhan gue bilang ke lo.” Balas Chacha.
Tak lama kemudian bel pun berdering. Mereka memasuki ruang kelas untuk mengikuti pelajaran.
Hari demi hari berlalu, Chacha dan Ryan pun semakin akrab. Mereka sering terlihat mengobrol bersama. Hal itu membuat hati Nindy sedikit cemburu terhadap sahabatnya.
“Cha gue perhatiin kok lo sama Ryan semakin akrab ya?” Tanya Nindy. “Lo tahu kan kalau gue suka sama Ryan?” Tambahnya.
“iya gue tahu kok, lo cemburu ya? Jawab chacha dengan sedikit meledek.
“Gue lagi enggak mood ya buat bercanda.” Balas Nindy dengan sedikit kesal.
“Hehe santai aja Nin. Gue sama dia nggak ada apa-apa kok.” Jawab Chacha. “Gue cuma…” Nindy memutus pembicaraan.
“Cuma apa?” Cuma mau ngerebut Ryan dari gue?” Tanya Nindy kesal bercampur emosi.
“Ya ampun Nin, kok lo bisa berfikiran seperti itu sama gue?” Tanya Chacha dengan nada lebih tinngi dari sebelumnya.
Perseteruan di antara mereka pun tek dapat dihindari. Di tengah perseteruan tersebut tiba-tiba Chacha pingsan.
“Cha, Cha lo kenapa?” Ucap Nindy panik saat sahabatnya tergeletak di lantai.
Tak lama kemudian Nindy melihat Ryan yang sedang berjalan, Ia pun memenggilnya dan meminta bantuan.
“Chacha kenapa?” Tanya Ryan kepada Nindy panik.
“Gue juga nggak tahu tadi tiba-tiba dia pingsan.” Jawab Nindy masih panik.
“Ya sudah bawa dia ke rumah sakit, lo tolong kabarin ke orang tuanya ya.” Balas Ryan masih panik.
Kemudian mereka membawa Chacha ke rumah sakit. Ia pun langsung ditangani oleh Dokter Indra.
“Yah tolongin Chacha, tadi dia tiba-tiba pingsan!” Pinta Ryan.
“Ya” Jawab Dokter Indra. “Sekarang kamu berdo’a untuk kesembuhan temanmu ini” Tambahnya.
Chacha pun langsung dibawa ke ruang ICU untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif.
“Ryan, itu ayah lo?” Tanya Nindy.
“Iya itu ayah gue.” Jawab Ryan.
Tak lama kemudian kedua orang tua Chacha datang bersama Niken dan Sheila. Mereka langsung menghampiri Nindy dan Ryan.
“Chacha di mana?” Tanya Ibu Yulia dengan penuh kepanikan.
“Dia lagi di ICU. Tante sebenarnya Chacha sakit apa? Kok tante terlihat panik sekali?” Tanya Nindy.
“Dia mengidap kanker otak.” Jawab Ayah Chacha.
Seketika suasana menjadi sendu setelah mereka mendengar perkataan itu. Mereka tidak menyangka Chacha mengidap penyakit yang mengerikan itu.
“Apa?” Tanya Nindy membangunkan kesunyian. Sheila, dan Niken serentak tidak percaya.
“Kenpa Chacha menyembunyikan ini semua?” Tambah Nindy dengan menitihkan air mata. “Sahabat macam apa gue? Masa orang yang berarti di hidup gue memikul beban yang berat gue nggak tahu?” Dengan air mata yang mengalir lebih deras. “Gue nyesel banget tadi gue sempet ribut sama Chacha hanya karena masalah sepele.” Ucap Nindy menyalahkan dirinya.
“Cukup Nin, kamu nggak perlu menyalahkan diri kamu sendiri. Ini sudah takdir dari Yang Kuasa. Chacha bukannnya nggak mau ngasih tahu hal ini ke kalian, Dia hanya takut bila dia cerita ke kelian, kalian menjadi iba dan kasihan terhadapnya.” Jelas Ibu Chacha yang juga menitihkan air mata.
Tak lama kemudian Dokter Indra keluar dari ruang ICU. Kedua orang tua Chacha beserta keempat sahabatnya menghampirinya.
“Gimana dok keadaan anak saya?” Tanya Ayah Chacha berusaha tenang.
“Kondisi putri anda semakin memprihatinkan. Presentase harapan hidupnya kini hanya 40%. Cara untuk menyelamatkan Chacha hanya dengan melakukan operasi. Itu pun bila berhasil.” Jelas Dokter Indra.
“Apa persyaratan yang harus kami penuhi agar operasi itu segera dilaksanakan?” Tanya Ayah Chacha.
“Anda silahkan ke bagian administrasi lalu menandatangani persetujuan operasi.” Jawab Dokter Indra.
Ayah Chacha pun segera menuju bagian administrasi untuk menyelesaikan persyaratan operasi. Tak lama kemudian setelah persyaratan telah dipenuhi Dokter Indra kembali bersama timnya untuk melakukan operasi.
“Operasi akan segera dilaksanakan, ini membutuhkan waktu sekitar 8 jam. Saya berharap kepada Bapak dan Ibu serta adik-adik untuk mendoakan agar operasinya berhasil.” Ucap Dokter Indra sesaat sebelum menuju ruang operasi.
Sambil menunggu jalnnya operasi, kedua orang tua Chacha beserta keempat sahabatnya tidah henti-hentinya berdoa untuk kelancaran operasi dan keselamatan Chacha. Setelah berjam-jam menunggu Dokter Indra pun keluar dari ruang operasi. Mereka pun langsung menghampirinya.
“Gimana Dok, apakah operasinya berhasil?” Tanya Ayah Chacha panik.
“Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar, sekarang kondisinya masih belum sadar.” Jawab Dokter Indra.
Tak lama kemudian Chacha pun sadar. Dokter Indra mengizinkan kedua orang tuanya untuk menemuinya. Mereka pun masuk ke ruang dimana Chacha dirawat bersama Nindy.
“Ibu, Ayah, Nindy maafin Chacha ya. Selama ini Chacha sudah banyak salah sama kalian.” Ucap Chacha.
“Iya Cha, maafin Ayah sama Ibu juga ya.” Balas Ayah Chacha.Ibu Chacha hanya menitihkan air mata tidak sanggup melihat kondisi putrinya yang terbaring lemah.
“Nggak ada yang perlu dimaafin Cha, seharusya gue yang minta maaf ke lo, gue sudah ngecewain lo, gue sudah berfikiran negatif ke lo, gara-gara gue lo jadi begini.” Balas Nindy juga dengan menitihkan air mata.
“Enggak Nin, ini bukan gara-gara lo, ini sudah takdir. Gue mau klarifikasi masalah yang tadi, gue sama Ryan nggak ada apa-apa, gue Cuma ngobrol tentang penyakit gue. Kalau ada keluhan gue cerita ke dia nanti dia sampaikan ke bokapnya.” Ucap Chacha masih dengan berbaring.
“Iya Cha gue sudah lupakan itu semua. Masalah yang tadi udah lupain aja. Sekali lagi maafin gue ya. Gue nyesel banget.” Ucap Nindy masih dalam tangis.
“Bu, Yah, Nin, sekarang hapus air mata kalian, aku nggak mau lihat ada kesedihan di sini. Ibu, Ayah sama Nindy harus janji jangan nangis lagi walau apapun yang terjadi.” Pinta Chacha.
Kedua orang tua Chacha dan Nindy hanya mengangguk sebagai isyarat mereka berjanji, sambil menghapus air mata yang membasahi wajahnya.
“Sekali lagi aku minta maaf ya, tolong sampoaikan maaf aku ke yang lain.” Pinta Chacha dengan sedikit terbata-bata.
Setelah mengucap kalimat tersebut, Chacha menghembuskan nafas terakhirnya. Saat mengetahui garis pada elektrokardiograf membentuk garis lurus 1800, tanpa berfikir panjang Nindy langsung berlari mencari Dokter Indra agar dapat memberikan pertolongan kepada sahabat yang sangat disayanginya itu. Namun sia-sia. Segala cara telah dilakukan namun hasilnya tak seperti yang diharapkan. Nyawa Chacha sudah tidak tertolong.
Kedua orang tua Chacha dan seluruh temannya berusaha untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan, walau air mata sempat menghiasi wajah mereka. Mereka berusaha untuk menerima takdir dari Sang Khalik. Mereka berdoa agar ruh Chacha diterima di sisi Allah dan mendapat tempat yang layak di sisinya.

Menggandeng Tanganmu, Aura!

0

Sebuah kado yang terletak dikedua telapak tanganku.
Dia Aura telah menunggu pagi sepesialnya hari ini dia berada di taman kota. Diseberang jalan sana aku melihat ia sangat gembira dan tersenyum dengan ayah dan ibuku. Dan aku bahagia di pagi sepesialku juga.
Aku menyeberangi jalan dan tidak sengaja sepeda motor dengan kecepatan sedang menabrakku. Yang sebelumnya aku berfikir kalau aku akan baik – baik saja jika melewati jalan ini.
“Kak Luica!“
Sebuah jeritan keras yang muncul dari bibir Aura. Memang aku terjatuh cukup keras namun, aku tidak akan menunjukkan rasa sakitku kepada Aura yang seharusnya sekarang dia gembira tanpa menghawatirkan apapun dariku. Dari seberang jalan aku melihat Aura yang tengah menangis. Aku bangun tersenyum dan mengambil sebuah kado yang terlempar jauh dari jarakku terjatuh.
“kak Luica tidak apa apa?“
Tangannya yang hangat memegang kedua tanganku. Aku tetap membuka bibirku untuk tersenyum lebar walau darah mengalir dari kaki kiriku. Terasa sakit, tetapi jika melihat wajah Aura yang imut itu sudah membuatku melupakan luka ini. Namun, aku mulai merasakan akan datangnya kabut hitam yang menyelimuti kabut putih, datangnya hal buruk yang akan menutupi kegembiraanku dengan Aura.
“Luica kaki kirimu berdarah?!”
Suara yang muncul dari mulut ibuku yang terlihat khawatir. Aku masih tertawa dan tersenyum kepada ibuku dan Aura ayahku juga. Setelah itu aku langsung menggandeng erat tangan Aura. Entah? Kenapa hari yang seharusnya tidak ada hal seperti ini malah terjadi dan apa yang aku rasakan saat ini ketika aku menggandeng tangan Aura seakan aku tidak ingin melepaskan tangan ini dan seakan aku juga tidak ingin berpisah dengan Aura adik satu satunya yang aku cintai. Dia mulai tersenyum.
“kak Luica aneh… ditanya ibu seperti itu kakak malah tertawa, memangnya tidak sakit?“
Satu kalimat tanya tertuju kepadaku, aku masih tetap tertawa. Sambil berjalan ketempat pesta tersebut.
“Sakit? Kalau kakak liat wajah imut Aura sakitnya udah pergi kok,”
sebuah kalimat dari bibirku dan menyisir rambutnya dengan tanganku.
“Aura selamat ulang tahun yang ke 9 dan Luica selamat ulang tahun yang ke 14”
Beberapa kata yang terucap dari ibu dan ayah untuk kami berdua. Dan kebetulan juga tanggal dan bulan lahir kami berdua sama. Aura yang lahir pada tahun 2003 dan aku lahir pada tahun 1998 selisih 5 tahun. Aku masih menggandeng tangan Aura. Ia sepertinya juga tidak ingin melepaskan tangannya padaku. Sebuah kado yang berada di tangan kananku aku letakkan disamping ibu.
“kak..? kak Luica tunggu aku disini ya kak?”
Ucapan Aura yang melepaskan antara tanganku dan tangan Aura. Kenapa hatiku tidak seperti biasa? Seperti akan terjadi hal buruk kepada Aura tetapi jika aku mengatakan hal seperti ini perkataan adalah sebuah doa. Aku tidak mau ucapanku benar.
“Kak Luica ini kado untuk kakak! Maaf kak aku tidak membungkusnya dengan kertas kado dan kakak harus jaga baik – baik kunci ini ya..”
“ memangnya ini kunci pintu apa?”
“ di ruang bawah tanah, di tempat itu ada satu ruangan yang setahuku kakak belum pernah membukanya, bukalah pintu ruangan itu tanpa sepengetahuanku ya“
Kalimat Aura yang baru saja memberi kado untukku. Kado berupa kalung yang bergantung kunci. Indah dan imut seperti wajahnya. Aku menggandeng tangannya lagi dan mengambil kado yang aku letakkan disamping ibu yang akan aku berikan kepada Aura. “Selamat ulang tahun Au…”
Aku berhenti bicara dititik ini.
“AAA!!”
Dan aku mendengar jeritan anak kecil yang berdiri ditengah jalan aku melihat secara horizontal dimana anak itu menjerit. Sebuah mobil melaju dengan cepat dan tepat menuju kepadanya. Tiba – tiba Aura melepaskan antara tanganku dan tanganya dengan keras dan ia langsung berlari kearah anak kecil itu.
“AURA!!!“
Teriakku dengan keras,namun Aura tetap berlari menuju anak tersebut, aku mengikuti Aura berlari.
“…”
Sunyi dan sepi tanpa ada suarapun yang aku dengar.
“Au–ra?!“
Aku terdiam dan semua orang terdiam melihatnya, aku jatuh tertunduk sambil memegang kalung dari Aura.
“Au—ra?!”
Tidak aku sangka, cairan merah yang keluar melalui kepalanya dan hidungnya, hampir semuanya terselimuti oleh darah, terbaring tanpa ada sedikit gerakan pun, aku benar – benar tidak menyangkannya. Sunyi dan sepi hilang semua orang yang melihatnya termasuk ayah dan ibuku menghampirinya berusaha untuk menolongnya. Posisiku tetap jatuh tertunduk dan melihatnya. Aura adikku yang aku sayangi yang aku bangga – banggakan,adikku satu – satunya, dia menyelamatkan anak itu. Namun, Aura-lah yang malah terlahap oleh mobil kejam itu. Semua orang berusaha menyelamatkan Aura. Ada apa denganku? Aku tak bisa melakukan apa – apa? Kenapa tubuhku susah untuk digerakkan. Aku ingin memegang tangannya lagi. Aku paksakan diriku untuk bergerak.
“AURA…“
Aku berteriak sekeras mungkin dan berlari kearahnya,disampingnya, dan memegang tangannya sekali lagi. Dia melihatku dan tersenyum kepadaku walau wajahnya berlumuran darah.
“Aku memang kakak yang bodoh! Kenapa aku tidak bisa melindungi Aura, aku benar – benar kakak yang bodoh! Kenapa aku membiarkan tangannya lepas dariku?!! Aura kau masih bisa melihatku kan?! Aura?”
Ucapku dalam hati yang begitu menyesal dan menangis. Aku melihat matanya yang begitu berseri melihatku dan bibirnya yang tersenyum manis.
“K-Kak..? Jangan menangis? Aura nggak sakit kok… kalau Aura melihat kak Luica menangis nanti sakit Aura kembali lagi…”
“iya iya baiklah.. kakak akan tersenyum.. nih udah tersenyum… sekarang Aura masih sakit atau tidak? Pasti masih sakit?“
Jawabku sambil tersenyum menangis aku mengusap air mataku yang mengalir dan seakan tak akan berhenti.
“ibu ayah mengapa kalian hanya diam saja ? cepat panggil ambulannya?!”
Teriakku kepada ayah dan ibu. Mereka berdua sudah memanggilnya tetapi kenapa lama sekali.
“Kak..?”
“Iya Aura? Tunggu sebentar lagi ya? Aura kuat kok.. Aura jangan menyerah ya..”
Aura yang tetap menatapku dan air mataku yang masih mengalir dan kesal hatiku kenapa yang dipanggil tidak datang juga, rasa menyesalku melepaskan tangannya. Fikiran yang campur aduk tak karuan. Setelah aku mengucapkan kalimat itu Aura menggeleng.
“Kak… mungkin ini hari dimana aku lahir dan dimana aku meninggal.. Kak aku ingin kak Luica jaga kunci itu baik-baik dan jaga diri kakak..”
“Aura jangan bilang seperti itu, Aura kuat kok! Aura pasti kuat!”
Ucapku sambil menangis dan tetap memberi semangat padanya. Ia menggeleng lagi.
“Kak… tetaplah memegang tanganku… Kakak jangan menangis…”
Aura berbicara lagi dan mengusap air mataku yang mengalir di pipi. Tangannya yang semakin dingin menyentuh pipi kananku. Tak lama kemudian tangannya terjatuh dari pipi kananku dan saat aku melihat wajahnya ia sudah terpejam, tangan kirinya sehabis menyentuh pipiku jatuh di tangan kananku, dan tangan kanannya yang sebelumnya menggandeng tanganku dengan erat sekarang tidak.
“Aura?!”
“Aura?! Aura?! AURA!!”
Kenapa Ya Allah? Kenapa Kau ambil nyawa Aura terlebih dahulu? Kenapa Kau tidak menggantikannya denganku.
“Aura?! Aura bangun“
Aku menepuk pipinya yang lama-lama membiru begitu juga sekujur tubuhnya.
“Kak… tetaplah memegang tanganku”
Ucapan Aura yang terdengar lagi ditelingaku. Tangisku yang tak akan pernah berhenti mendengar ucapan itu. Aura ingin aku tetap memegang tangannya yang lembut. Tetapi kenapa hal ini harus terjadi kepadanya. Kenapa bukan aku awalnya. Aku benar – benar menyesal! Kenapa aku melepaskan tangannya begitu saja? Aura? Tolong bangunlah sekali lagi,kak Luica masih ingin melihat senyuman manis Aura. Aura tidak bergerak sama sekali,wajahnya putih pucat, darahnya yang mulai membeku, apakah dia benar – benar sudah didekat Allah?. Namun, aku masih belum rela tertinggal oleh bidadari kecilku yang imut dan manis. Apa yang harus aku lakukan saat ini. Ya Allah berikan satu kesempatan lagi agar aku bisa mendengar suaranya sekali lagi,melihatnya tertawa lagi. Aku tak percaya dia benar meninggal,suara hatiku masih berbicara kalau Aura masih hidup.
Ambulan yang ditunggu selama ini barusaja datang.kenapa semua terlalu menyepelekan hal seperti ini, aku masih berumur 14 tahun dan apa yang bisa aku lakukan selain menjaga Aura selama ini. Sebuah tempat tidur melayang membawa Aura masuk kedalam Ambulan.
“Aura?! Aura masih mendengar suara kakak?! Aura ayo bangun?!”
Ucapku sekali lagi untuk Aura. Dia tetap tidak bergerak sama sekali.
“Ya Allah… apa Kau benar mengambil nyawanya sekarang? Aku mohon.. jika Kau ambil nyawanya ambil nyawaku juga,agar aku bisa tetap memegang tangannya…”
“kak?”
Satu kata yang muncul dari bibir Aura. Dia berbicara walau hanya dengan satu kata lewat bibirnya. Dia tersenyum kembali,menatapku kembali dan memegang erat tanganku lagi. Ya Allah terima kasih,Kau sudah memberikan Aura satu kesempatan lagi untuk berbicara denganku, dan terima kasih Kau juga sudah memberikanku satu kesempatan lagi melihat senyum,pegangannya dan ucapannya. Namun…”
“kak..? Biarkan aku pergi… sendiri,kakak jangan ikut dan kakak jangan takut jika aku nanti tidak akan bertemu kakak lagi dan kakak jangan khawatir walau nanti alam kita berbeda Aura akan tetap disamping kakak dan memegang tangan kakak setiap hari…”
“Kak..? Selamat tinggal.. Aura sayang kak Luica yang manis”
“Tidak!! Aura jangan pergi?! Kakak mohon Aura jangan tinggalkan kakak sendiri disini.. Aura?”
Ucapan selamat tinggal Aura benar, ia benar – benar sudah pergi. Aku harus merelakan Aura aku mendengar ucapannya yang dia bilang tadi walau dia ada didekat-Nya, dia juga akan ada didekatku. Ya Allah jagalah Aura disamping-Mu. Jangan berikan ia kesedihan disana,buatlah dia tersenyum didalam Surga-Mu. Aura jaga dirimu baik – baik disana,jangan taruh kesedihan dihatimu dan tunggu kakak disana dan jangan pernah jauh – jauh dari samping-Nya. Aura selamat tinggal Kak Luica sayang Aura.
Aku sudah bisa merelakanya sedikit demi sedikit. Dan aku akan menjaga kunci ini baik – baik, ini adalah benda berhargaku dari Aura,ketika ia memberikannya ia sangat senang sekali dan tersenyum gembira. dan sekarang aku harus tersenyum lagi aku tidak boleh membuat Aura tidak tenang juga air mataku yang tetap menetes.
Keesokan harinya. Kulihat pagi ini melewati cendela kamar.Kicauan burung yang terdengar begitu merdu seekor kupu – kupu yang terbang menikmati udara segar di pagi yang cerah ini.
“Kak Luica ayo bangun..”
Aku mendengar suara Aura yang menyuruhku bangun.
“Kakak su…”
Aku berhenti untuk menjawabnya. Menjawabnya yang langsung melihat pintu kamarku.
“tidak ada ya..”
Ucapku kembali dengan tetesan airmata yang kembali mengalir. Ternyata itu hanya bayangan Aura yang memanggilku yang biasanya membangunkanku dengan semangat dengan senyumnya yang manis. Aku hampir lupa kalau Aura sudah pergi. Sepertinya kemarin itu hanya mimpi,tapi pasti itu hanya mimpi jadi aku bisa tenang saja hari ini. Aku tertawa dan membuka pintu kamarku. Aku keluar kamarku dan menutup pintunya kembali. sepi dan sunyi kenapa Aura tidak datang juga? Aneh.. biasanya ia menjemputku dan berteriak memanggilku?”. Aku menuruni tangga yang ada dirumahku dan mencari Aura yang terkadang ia bersembunyi didepanku. Rumah ini kenapa menjadi sepi? Tidak mungkin kan mimpiku itu nyata? Pasti bohong..”
“Oto-san.. Oka-san.. Aura dimana?”
Oto-san itu caraku memanggil Ayah dan Oka-san itu caraku memanggil ibu,aku sudah terbiasa menggunakan bahasa Jepang karena aku sangat menyukai bahasa Jepang.
“Aura?”
Ibu dan ayah yang berlari menghampiriku. Tetapi kenapa muka mereka begitu sedih. Memangnya apa yang terjadi dengan Aura. Bukankah ia hari ini baik – baik saja?”
“Sepertinya dia lupa”
Bisik ayah kepada ibu dan ibu memegang kalung bergantung kunci yang ada dileherku. Anehnya ketika ibu memegang kalung ini ibu menangis. Sebenarnya apa yang terjadi?
“Ng.. Oka-san.. kenapa Oka-san menangis? Sebenarnya apa yang terjadi?”
Ucapku yang memegang tangan ibu,ayah juga menangis,bukankah kalung ini dari Aura untukku? Tetapi kenapa? Kenapa mereka berdua tetap menangis?.
“Luica sayang? Kau benar – benar lupa apa yang terjadi kemarin?”
Tanya ayah kepadaku dengan wajah yang sedih. Wajah-wajah yang seperti kehilangan sesuati yang sangat berharga.
“bukankah kemarin hari ulang tahunku dengan Aura? Dan dimana Aura sekarang?”
Tanyaku kembali kepada ibu dan ayahku. Mereka terdiam. Hening dan sepi melewati tubuhku lagi dengan perlahan.
“Oto-san?”
Ucapku kembali yang mengharapkan jawabanku dari ayah. Tetapi kenapa ayah lama sekali untuk menjawabnya. Wajah ayah seperti sangat sulit untuk menjawabnya.
“Oka-san?”
Ucapku sekali lagi yang mengharapkan jawaban dari ibu. Kenapa ibu semakin menangis. Ada yang tidak beres disini,sebenarnya apa yang terjadi kenapa pertanyaanku tak ada satu pun yang dijawab ayah dan ibu. Dan juga Aura tidak keluar-keluar dari kamarnya. Ibu memelukku dan ayah juga memelukku. Tetapi kenapa hanya aku yang dipeluk,dimana Aura yang seharusnya mereka peluk juga.
“Oto-san Oka-san.. kenapa hanya aku saja,kenapa Oka-san tidak memanggil Aura juga?”
Tanyaku sekali lagi kepada mereka. Mereka memelukku semakin erat lagi. Sebenarnya apa yang terjadi. Mereka berdua seperti tidak ingin menjawabnya dan ingin melupakan apa yang aku katakan,sudah terlihat dari wajah ayah dan ibu.
“oh iya.. Oka-san Oto-san aku semalam bermimpi Aura pergi.. sebenarnya itu akan pertanda apa?”
Tanyaku kembali. Mereka terlihat kaget. Apa jangan jangan…”
Aku berhenti sejenak dan mengingat kejadian kemarin. Hening dan sepi tetap menyelimuti kami sebagai suasana pagi hari.
“Jadi begitu..”
Ucapku yang begitu datar. Aku mengingatnya ternyata bukan mimpi yang kuanggap mimpi itu adalah kejadian kemarin.”Menyakitkan!” ucapku yang terjatuh membungkuk dan memulku ubin rumahku yang cukup keras. Sakit! Memang sakit aku memukulnya tetapi lebih sakit lagi jika aku ditinggalkan. Darah yang keluar melalui tangan kananku,dan tangisan yang mulai mendatangi wajahku,kesedihan yang mulai menyelimutiku. Tak kusangka kenapa aku lupa padahal kejadian itu kemarin. Dan suara tadi itu hanya suara Aura yang terbiasa terdengar, mangkannya kenapa pagi ini sangat sepi biasanya aku mendengar Aura bernyanyi terkadang membaca buku diruang tamu.aku memegang kunci ini yang ada dileherku. Ayah dan ibu hanya melihatku saja mereka begitu sangat sedih. Tetesan air mataku semakin deras dan hatiku seperti ada ledakan didalamnya,seperti hujan yang begitu lebat dan petir yang saling menyambar.
“menyakitkan! Menyakitkan! Menyakitkaaan..!!!!”
Aku menjerit sekeras mungkin.aku begitu menyesal dan kesal hatiku benar – benar sakit jeritan belum cukup untuk menenangkan hatiku yang seperti ini. Ya Allah kuatkanlah hatiku ketika kau turunkan cobaan yang begitu berat untuk aku hadapi.
“Aura maafkan kakak.. kakak tidak bisa melindungi Aura.. kakak benar – benar munta maaf..”
Suara hatiku yang begitu terasa diotakku. Kunci ini? Sebenarnya apa isi ruangan itu?. Aku berhenti menangis dan memperhatikan kunci itu. Aku langsung berlari menuju ruang bawah tanah sebelum itu aku mengambil senter kecil untuk menerangi jalanku.
“Luica kau mau kemana?”
Teriak ibuku yang juga tiba – tiba berhenti menangis karenaku.
“Gomennasai… Oka-san (maafkan aku bu)”
Teriakku untuk ibu. Aku mulai membuka pintu masuk keruang bawah tanah,aku mulai menuruni tangga dan menyalakan senterku dengan tangan kiri.
“Kakak..”
Seperti ada yang menggandeng tanganku dan tidak salah lagi itu suara Aura yang memanggilku. Aku menoleh kanan kiri. Tak ada seorang pun selain aku. Aku berjalan lagi dan mencari pintu dari kunci ini. Tak lama aku menemukan pintu itu. Seperti lama tidak dibuka.
“Cklek! Cklek!”
Suara kunci yang sedang membuka pintunya.
“Apa! Ini? Genggaman..”
“Aura?”
Ucapku dengan menoleh sebelah kanan. Aura tiba – tiba ada disampingku dan menggandeng tanganku ia tersenyum melihatku dengan tubuhnya yang diselimuti cahaya putih.
“Aku buka!”
Perlahan tanganku menuju pegangan pintu dan memegang tangan Aura dengan erat, Petang gelap gulita. Aku nyalakan lampunya. Aku memasuki ruangan itu melihat sekeliling ruangan indah tenang sungguh menenangkan.
“jadi ini hadiah Aura untuk kakak?”
“Apa?! Bukanya tadi.. tidak mungkin? Dia tadi ada disini..”
Aku kaget awalnya sebelum aku membuka pintu Aura menggandeng tanganku tetapi sekarang dia menghilang.
“Kak… tetaplah memegang tanganku.”
Teryata Aura tidak bohong walau ia tidak terlihat ia tetap memegang tanganku. Lucu sekali triknya. Dasar adikku yang nakal dan imut. Aku memasuki ruangan itu lebih dalam di pojok kanan ruangan tersebut ada cahaya lampu yang berkelap – kelip terang. Aku menghampiri cahaya itu ditengah cahaya tersebut ada sebuah kalimat yang mengatakan “Aku ingin menjadi guru bahasa Jepang seperti cita – cita Kak Luica :) “. Jadi begitu, selama ini Aura ingin menjadi sepertiku. Pantas saja dia selalu meniru apa yang aku lakukan.
Aku memegang kunci ini dan mulai meneteskan air mata lagi. Aku begitu kagum dengan Aura, dia adik yang baik,cerdas,pintar,cantik,imut.
“sepertinya aku tidak bisa melupakanmu Aura”
Ucapku yang mengusap air mataku dan tersenyum sedikit. Setelah aku melihat kalimat itu aku melihat kearah lain lagi, aku melihat ada kanvas luas yang membelakangiku aku coba tuk menghampiri kanvas itu dan membalikkannya “ Nee – Chan :) Watashi ” (ditulis dengan huruf Hiragana yang artinya “Kakak :) Aku “). Dalam badan kanvas tergambar tubuhku dan tubuhnya yang tangannya saling bergandengan. Gambarnya bagus walau kurang sempurna tetapi aku akan menghargainya. Disamping kanvas tersebut aku melihat album kecil yang tergeletak disana. Aku membuka album itu ada banyak fotoku dan foto Aura, foto yang kami ultah 3 tahun kemarin waktu itu Aura sangat lucu,aku lihat baliknya ada Aura yang berumur 5 bulan yang ini malah lucu banget di situ aku terlihat menangis entah kenapa saat itu aku menangis maklumlah aku sudah lupa. Aku mencoba untuk duduk dan bersantai diruangan ini, dengan AC didalamnya itu membuat ruangan ini sejuk dan segar.
“Bagus kan kak ruangan ini?”
Aura yang lagi – lagi mengagetkanku lagi dan berada disampingku lagi. Dia berwujud seperti pertama tadi yang tadinya aku masih ada di depan pintu ruangan ini.
“A-Aura! S-sejak… Sejak kapan Aura ada disini??”
“ Sejak dari tadi aku disini kak..”
“Aaahh..??”
Dengan santainya Aura mengatakan kalimat itu. Aku berbaring diruangan lingkup yang seakan berada di surga kecil, sejuknya hawa yang menyelimutiku tenangnya ruang hingga aku ingin sekali terlelap didalamnya,sungguh menenangkan.
“Kakak?!”
Panggil Aura lagi yang tiba – tiba ada di depan mataku. Dia tersenyum manis melihatku kaget.hmm.. ternyata Aura juga tetap Aura tidak berubah sedikitpun.
“ng..?”
“ Ayo ikut aku kak.. “
Sebenarnya Aura ingin mengajaku kemana? Ia mengalurkan tangannya agar aku menggandeng tangan Aura. Aku ragu – ragu untuk memegangnya hanya sedikit takut tetapi aku paksakan diriku dan pelan – pelan meraih tangannya. Suhu dingin mulai menyelimuti telapak tanganku seperti es yang membeku. Dengan rambut terurai dan baju yang manis berjalan mengandengku ke satu pintu yang sebelumnya aku tidak melihatnya. Terletak di seberang lampu kelap – kelip tadi,anehnya.. kenapa aku baru sadar sekarang kalau di sana masih ada pintu. Apakah masih ada ruangan lagi, selama ini aku tidak pernah tahu kalau ada ruangan seluas ini.
“Kak Luica coba buka pintu ini dengan kunci itu..”
“A! Hem!”
Ucap Aura yang menyuruhku membuka pintu itu dengan kunci ini. Dan aku menjawabnya dengan sedikit kaget “ baiklah aku buka ”. Taman bunga yang selama ini aku tidak mengetahuinya tersembunyi diruang itu. Indah bunga – bunga yang tersebar luas warna – warna bunga. Indah sungguh. Ini benar – benar indah sayangnya aku mengetahuinya ketika Aura sudah tiada.
“ Kak Luica.. Aku kembali pulang ya.. “
“tapi kakak jangan sedih jika Aura pergi..”
tetaplah tersenyum..
sampai jumpa kak.. Aura sayang Kak Luica”
Aura mulai pergi kembali disisi-Nya. Selamat tinggal Aura aku juga sayang Aura. Dan juga aku akan menjaga ruanganmu dan taman bunga ini. Aku akan terus tersenyum dan aku akan terus tertawa.
Selesailah kesedihanku ini dan aku akan bersemangat demi cita – citaku dan Aura adik tersayangku.

Meski Tanpa Ayah

0

Pagi ini kusambut mentari pagi. Kulangkahkan kaki menuju sekolah, meski tak ada lagi yang mengantarku. Tak seperti dulu saat ayah di sisi ku Ia akan menyambut pagi ini dengan bunyi klakson motornya yang berisik tanda ia terlalu lama menunggu. Bunda akan melihatku dan mengantarku hingga di depan pintu dengan senyuman hangatnya.
Yahh, tapi itu dulu, saat ayah ada di antara kami, kini tak ada lagi senyuman hangat dari bunda, yang ada hanyalah muka letih karena terlalu lelah bekerja, yang ada hanyalah kerut muka tanda bertambah usia.
Dulu aku berfikir betapa menyebalkan ayah dengan segala peraturan yang dibuatnya, tapi kini aku merindukan segala tutur katanya, betapa lembut belaian darinya, bahkan harum tubuhnya pun kini aku rindukan. Aku menyadari betapa pentingnya ia di hidupku, kini pelita itu telah hilang seolah pergi tanpa bayang. yang kucari tak lagi dapat kutemukan hanya angan yang tersisa.
Saat kepergian ayah, kurasakan kehilangan yang luar biasa, hatiku bergejolak, tapi kulihat Bunda ia seolah ingin melawan takdir, hatinya begitu tersayat, raungan kepedihan begitu mendalam di hatinya, berkali kali ia pingsan, menyebut nama ayah tanpa sadar.
Yah, lagi lagi itu dulu, kini aku bersama bunda memulai hidup baru, memulai menata hidup kami kembali, kini aku mulai menyongsong masa depan lagi lagi “Meski Tanpa Ayah” di sisi. Bunda mulai menerima kenyataan bahwa ayah telah tiada bersama kami. Bayang-bayang suara ayah akan keinginanya untuk agar aku menjadi dokter semakin membangkitkan emosi. Ayah, lihatlah aku, meski tanpamu kini aku bisa berdiri, dan meraih impian, tapi ini semua tak lepas dari keinginanmu. Love you ayah..

Ibu

0

Bau khas tanah yang terkena hujan langsung menyapa ku saat aku keluar dari mobil, hujan rintik-rintik kecil cukup membasahi bajuku yang saat itu berwarna hitam hingga membuat lingkaran kecil bekas tetes-tetes hujan itu tak terlalu tampak. Akhirnya kami sampai di tempat tujuan kami. Hanya sedikit yang berubah saat aku melihat bangunan di depanku ini. Coretan-coretan yang ku tulis waktu aku masih kecil masih terdapat di salah satu sisi tembok bangunan rumah bercat hijau ini. Bahkan, kursi kayu yang kubuat bersama ayah dulu masih tertata rapi di beranda rumah bersama sebuah meja bundar kecil, tempat kami dulu biasa berkumpul. Hanya saja, banyak sekali daun-daun yang mati berguguran berserakan di lantai beranda ini dan debu-debu serta sarang laba-laba memenuhi sudut langit-langit atas.
“Brakkk” terdengar suara sesuatu jatuh dari dalam rumah, aku langsung membuka pintu dan ternyata hanya seekor kucing dan tikus-tikus kecil yang berkeliaran di dalam rumah. Sungguh berubah keadaan rumah saat ini dan 6 tahun yang lalu saat aku tinggalkan, kini rumah ini bak sebuah kapal pecah yang baru saja menghantam sebuah karang besar, disana-sini barang-barang berserakan, patah-mematah, bahkan hancur dimakan rayap. Sayup-sayup terdengar suara istriku yang tengah mengobrol dengan seseorang di luar, buru-buru aku melirik dari balik jendela dan ternyata itu adalah mbah Hirjo tetanggaku dulu yang sampai sekarang masih tinggal di sebuah gubuk kecil di dekat rumah ini. Aku menelanjangi seluruh bilik di rumah ini, kalau-kalau masih ada benda yang yang utuh yang masih bisa disimpan. Lalu mataku tertuju pada sebuah kotak kecil di atas lemari tua berwarna coklat dengan ukiran-ukiran bunga di setiap sisinya. Aneh mengapa sebelumya aku tak pernah menemukan kotak ini. Langsung saja tanpa berpikir panjang aku membuka kotak kecil itu, kutemukan sebuah foto yang mengingatkan ku dengan semua masa laluku.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1990an, saat itu aku berumur sembilan belas tahun, umur yang menurutku sudah cukup untuk menjadikanku tulang punggung bagi keluargaku dan bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan keluargaku karena ayahku telah meninggal dan aku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluargaku. Sore itu aku berencana untuk mencari ubi di kebun yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahku. Aku mempersiapkan semua barang-barang yang akan kubawa, ketika itu adik perempuanku memaksaku untuk mengajaknya
“kak aku ikut yah!” katanya sambil terengah-engah berlari
“tidak usah, kau tinggal saja disini. Disana akan berbahaya nanti kau bisa tertusuk ranting-ranting tajam”
“ayolah kak, satu kali saja” katanya memelas
“jangan, nanti jika kau ikut siapa yang akan menjaga ibu? kasihan ibu, kau tahu sendiri kan ibu sedang sakit?”
Akhirnya dia pun mengalah dan tetap tinggal di rumah sementara aku pergi untuk mencari ubi untuk makan malam kami nanti. Aku memilih jalan di sebelah barat rumah kami karena jika lewat jalan itu aku bisa sampai lebih cepat namun resikonya lebih besar karena aku harus melewati jurang-jurang dengan lantai yang licin, terlebih pada saat itu hujan baru saja meyerbu desa kecil kami. Ditengah perjalanan aku mendengar seseorang menjerit dari bawah, ketika kulihat ternyata ada seorang laki-laki tua yang bergelantungan di tepi jurang, jari-jarinya hanya memegang sebuah akar pohon, tanpa berpikir panjang aku langsung memberikan tanganku, namun posisi kami terlampau jauh, alhasil tanganku tak sampai untuk menggapai tangan laki-laki itu. Tak menyerah aku melepaskan bajuku dan meberikannya kepada laki-laki itu, maksud hati agar tangan laki-laki itu bisa meraihnya. Dan ternyata usahaku tak sia-sia aku berhasil, aku langsung menarik laki-laki itu ke atas. Laki-laki itu sangat berterima kasih kepadaku karena aku telah menyelamatkannya dari maut, cuaca sedang sangat tidak bersahabat dan hujan pun kembali mengguyur desa kami, akhirnya kami berlari untuk menemukan tempat berteduh.
Kami berdiam sebentar di sebuah rumah tak berpenghuni, rumah ini sangat pengap dan hanya tedapat satu ruangan di dalamnya, di sudut ruangan tedapat barang-barang tua yang telah terbungkus debu juga sisa-sisa piring bekas makan dengan bau sisa makanan yang menyebar di seluruh ruangan dan membuat ruangan ini semakin pengap. Sembari menunggu hujan reda, kami mengobrol sedikit mengenai asal-usul kami. Ternyata laki-laki yang ku tolong tadi bernama Gunawan, dia adalah seorang pengusaha sukses dari Jakarta, dia sedang mencari rumah keluargannya disini namun sepertinya alamat yang dipegangnya itu salah dan membuat dia tersesat hingga ke desa ku.
Hujan telah reda dan kami memutuskan untuk pulang, aku menunjukkan jalan keluar dari desa kami kepada bapak Gunawan agar dia bisa pulang dengan selamat dan setelah itu dia memberikanku beberapa helai uang namun aku menolaknya, aku selalu ingat dengan pesan ibu untuk selalu berbuat ikhlas. Walaupun terus memaksa namun akhirnya laki-laki itu mengalah dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetya
“ada lowongan kerja di perusahaanku, jika kau membutuhkannya jangan sungkan-sungkan untuk datang”
Dengan senang hati aku menerima tawaran itu, entah apa yang berada di pikiranku namun meski pulang nanti aku tak membawa makanan sedikit pun tapi aku membawa kabar bahagia yang bisa membuat ibu di rumah senang. Tak bisa menunggu lama, aku berlari menuju rumahku, beberapa kali aku terjatuh hingga luka karena jalan yang licin. Namun itu tak menghentikan langkahku. Aku ingin secepatnya memberi tahu ibu tentang kabar gembira ini.
Rasa senang yang menggelegar di hati ini rasanya tak bisa ku pendam tatkala aku menginjakkan kaki di rumahku ini. Dan langsung saja ku hamburkan semua rasa gembira ini kepada ibu dan adikku di rumah. Mereka langsung memelukku dan mendukungku untuk pergi ke Jakarta untuk bekerja mencari uang.
Hari itu tiba, hari dimana aku pergi ke Jakarta memulai pekerjaan baruku dan meninggalkan ibu dan adikku di rumah. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan mereka berdua, namun apa daya, kelak jika nanti aku telah sukses aku akan membawa ibu dan adikku tinggal di Jakarta. Tinggal di istana megah yang selama ini telah kami impi-impikan.
Jarak kantor dan rumahku hanya sekitar 2 km saja, terkadang aku tak perlu melambaikan tanganku untuk memanggil taksi, cukup dengan berjalan kaki saja tak memakan waktu sampai 1 jam. Kadang-kadang aku pergi ke kantor bersama Gaby rekan kerjaku sekaligus sekretaris pribadinya Pak Gunawan yang tempat tinggalnya hanya berjarak dua blok dengan rumahku. Namun hari demi hari kami semakin dekat dan perasaan cinta itu mulai tumbuh di antara kami berdua. Hingga suatu hari aku memutuskan untuk mengikat tali hubungan kami ke pelaminan yang sebelumnya telah direstui oleh kedua orang tua kami. Aku mencoba menelpon ibuku dan adikku untuk menyuruh mereka hadir di acara pernikahan kami, ibu setuju untuk datang, namun ibu menolak tawaranku untuk mengongkosinya kesini naik pesawat katannya biarlah mereka naik bus saja, takut nanti ibu mabuk di pesawat dan merepotkan saja.
Saat hari pernikahanku pada waktu itu, ibu duduk di kursi orang tua mempelai pria, bersama pamanku yang hadir sebagai perwakilan dari ayah, ibu terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya hijau dan sanggul yang melingkar di rambutnya, namun perlahan aku sadar itu bukanlah ibu, itu adalah bibiku – istri dari pamanku -. Nyatanya sampai sekarang aku masih belum rela mendengar kabar bahwa ibu telah meninggal dunia dua bulan yang lalu sebelum pernikahanku karena sakit keras yang dideritanya, namun yang aku yakin, disana ibu telah bahagia terlebih melihat anaknya telah sukses dan menemukan cinta sejatinya.
Sayup-sayup kudengar istriku sedang mengobrol di luar bersama seorang perempuan, samar-samar kulihat wanita itu dari jauh, wajahnya bayang-bayang karena air mata yang masih menggumpal di mata ini, ternyata itu adalah bik Masni istrinya mbah Hirjo. Dari jauh kulihat dia tersenyum kepadaku dan aku pun membalas senyumannya.

About Love in Bamboo Forest

0

“Aduh!” Aku meringis kesakitan sambil berusaha mengangkat sepeda yang menimpa tubuhku. Sudah ditimpa sepeda, aku pun harus menikmati ‘manisnya’ lutut kaki kiriku tergores di jalanan depan Togaden ini.
“Dasar bodoh!” teriak keras seseorang di belakangku.
Aku menatap wajahnya, wajah laki-laki yang mengatakan aku bodoh. BODOH! Aaargh! Aku tidak terima.
Setelah bisa berdiri dengan sempurna, aku merapikan pita di rambut gelombangku. Ternyata rok rimpel-rimpel yang kukenakan sedikit sobek tergores aspal. Pantas saja lututku ikut tergores. Lantas kutatap dalam-dalam wajah si laki-laki yang dingin itu. “Hei! Kamu bilang apa tadi?!” ujarku menahan emosi.
“Aku bilang kamu bodoh! Masih kurang jelas? Dasar cewek ceroboh!” ujarnya sengit sambil membuang muka dan tanpa berdosa dia mengayuh sepedanya meninggalkanku.
“Hei, kamu! Dasar cowok pengecut!” teriakku keras dengan emosi yang menggebu. Lantas kukayuh sepedaku mengejarnya. Enak saja dia kabur setelah sengaja menyenggol sepedaku tanpa meminta maaf terlebih dahulu. Huh!
Ternyata laki-laki menyebalkan tadi mengayuh sepedanya dengan amat kencang. Ah, sepertinya aku akan ketinggalan jejaknya. Ya, sekarang tak lagi kulihat punggung laki-laki tersebut. Dan aku menarik napas, kecewa. Semoga di lain waktu aku bisa bertemu dengannya lagi dan memaksa dia untuk minta maaf padaku.
Pelan-pelan kutelusuri jalanan wilayah Sanjo siang ini. Orang-orang terlihat berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Wajah mereka masih secerah mentari pagi dengan senyum yang menghiasinya. Inilah yang kubanggakan dari penduduk Kyoto. Semangat dan wajah cerah mereka. Apalagi saat ini Kyoto sedang haru. Jadinya lengkap dan makin indah saja Kyoto-ku tercinta.
Sambil tetap mengayuh sepeda, kuganti lagu di walkman dan membenarkan posisi earphone di telingaku. Dan kini terdengarlah suara merdu Yui, penyanyi favoritku. Lagu yang berjudul ‘Stay with Me’, mampu membuatku melupakan kejadian yang menyebalkan tadi sekaligus melupakan rasa perih di lututku.
Setelah lima belas menit perjalanan, aku sudah sampai di depan rumah.
“Tadaima!” seruku sambil membuka pintu dan langsung berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua. Aku tergesa-gesa menuju kamar karena ingin membersihkan luka di sekitar lutut kaki kiriku. Saat luka lecet itu bertemu obat cair yang kuteteskan, rasanya pedih sekali. Aduh, aku jadi mengingat kembali wajah laki-laki yang menyenggolku saat mengendarai sepeda tadi. Awas saja kalau aku bertemu dengan dia lagi!
***
“Ohayou gozaimasu, Miyuki!”
“Ohayou gozaimasu!” jawabku membalas sapaan Yayoi, teman satu kelasku. Lalu aku tersenyum dan Yayoi pun membalas senyumanku dengan manisnya.
Selesai aku mengganti sepatu dengan uwabaki6, kukunci kembali lokerku lalu menoleh ke arah Yayoi yang terlihat kebingungan sambil mengacak-acak isi tasnya.
“Ada apa, Yayoi?” tanyaku bingung.
“Miyuki, aku kehilangan kunci loker. Aduh!” jawabnya gusar sembari membongkar tasnya yang berwarna merah muda.
“Mungkin terselip saja,” kataku berkomentar sambil membuka lembaran buku di dalam tas Yayoi. Kunci loker sekolah kami memang berukuran kecil. Jadi kupikir mungkin kunci itu terselip di antara lembaran buku. Apalagi kunci loker Yayoi tidak diberinya gantungan kunci, sehingga sulit untuk menemukannya di dalam tas yang penuh.
“Setibanya di sekolah tadi aku sempat membuka tas untuk mengeluarkan komik. Mungkinkah kunci itu terjatuh ya?” Yayoi berucap dengan nada khawatir.
Aku mengerti kenapa ia jadi khawatir. Lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Jika Yayoi belum menemukan kunci lokernya, itu berarti ia tidak bisa membuka lokernya dan mengganti sepatunya dengan uwabaki. Kalau tidak segera mengganti uwabaki, Sensei Terumasa tidak akan mengizinkan muridnya mengikuti pelajaran.
“Emm… mungkin juga kunci itu terselip di komik kamu, Yayoi. Sekarang komik itu ada di mana?” Aku bertanya setelah tak kutemukan kunci loker di antara buku-buku dalam tas Yayoi.
“Miyuki, komik itu sudah dibawa Satoru. Aku meminjamkannya karena dia mau mengantarku pergi ke sekolah hari ini,” kata Yayoi menjawab pertanyaanku. Kini Yayoi hanya terduduk di depan lokernya dengan wajah menyerah.
“Satoru?” ujarku mengulang nama yang disebutkan Yayoi.
“Dia tetangga baruku, Miyuki. Pindahan dari Osaka. Dia seusia dengan kita tapi sayangnya tidak bersekolah di sini,” kata Yayoi menjelaskan.
Aku mengangguk lalu tersenyum.
Tiba-tiba lantunan nada Fur Elise terdengar nyaring sebagai tanda waktu belajar akan dimulai. Beberapa anak terlihat sedang memakai uwabaki dan setelah itu mereka beranjak menuju kelasnya masing-masing untuk belajar. Aku masih terpaku di depan Yayoi yang menunduk. Beberapa detik kemudian dia mengangkat wajahnya.
“Miyuki masuk saja ke kelas. Aku akan mencoba menghubungi Satoru dan menanyakan apakah kunci itu terselip di komik yang dipinjamnya,”
Aku menggeleng. “Aku mau tunggu Yayoi saja,”
Yayoi tersenyum. Baru saja ia hendak menekan tombol di handphone-nya, nama Satoru sudah tertera duluan di layar. “Iya, Satoru. Arigatou gozaimasu! Tunggu ya!” kata Yayoi gembira saat ia berbicara dengan si penelepon. Setelah menutup handphone-nya, Yayoi menarik lenganku.
“Satoru ada di depan gerbang, Miyuki. Ayo temani aku! Nanti aku kenalkan kamu dengan dia.”
Aku mangangguk dan berjalan mengikuti Yayoi.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, kulihat sosok yang sudah tak asing bagiku. Dia tersenyum manis pada Yayoi tanpa melihatku. Ah, rasanya ingin kutelan bulat-bulat orang itu!
“Ohayou gozaimasu, Satoru! Arigatou gozaimasu. Aku sudah khawatir tidak bisa ikut pelajaran hari ini kalau kunci lokerku sampai tidak diketemukan,” ucap Yayoi lembut pada Satoru.
“Ohayou gozaimasu. Do itashimashite, Yayoi!” ujar Satoru masih dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya. Kuakui Satoru memang manis dan tampan, namun wajah itu menyebalkan bagiku.
Dan aku cukup terpesona dengan senyuman Satoru hari ini. Akan tetapi yang aku herankan ia bersikap manis pada Yayoi tapi tidak denganku. Apa karena kejadian kemarin? Eh, yang seharusnya marah itu ‘kan aku!
“Satoru, kenalkan ini Miyuki! Dia teman satu kelas yang paling dekat denganku, hehehe!” kata Yayoi mengenalkanku pada Satoru sambil mengerlingkan mata jenaka padaku.
Aku memasang senyum terpaksa. Tapi, Satoru sama sekali tidak membalas senyumanku. Ia hanya memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Bagus deh! Jadi dia bisa melihat lutut kiriku yang di perban tipis gara-gara kelakuannya yang tidak bertanggung jawab kemarin di depan Togaden.
“Eh, aku harus kenalan sama cewek ceroboh ini? Kok bisa kau berteman akrab dengan dia, Yayoi? Lihat itu lututnya akibat dari kecerobohannya sendiri!” ujar Satoru pada Yayoi sambil membuang wajah padaku. Lalu ia melihat ke arah pohon sakura yang berbunga indah di depan kolam sekolah.
Aku hanya terdiam. Rasanya ingin kubalas kata-kata ejekan dari Satoru. Tapi aku masih ingat bahwa Yayoi ada di sampingku dan lagi pula ini masih di lingkungan sekolah.
“Kalian sudah saling mengenal ya, Satoru? Eh, Miyuki kenapa tidak cerita padaku kalau sudah mengenal Satoru? Kalian kenal di mana?” tanya Yayoi keheranan sambil menatap kami berdua bergantian.
“Emmh, aku pergi dulu ya! Yayoi, jangan sampai hilang lagi kunci lokernya! Sampai ketemu nanti,” pamit Satoru pada Yayoi dengan tiba-tiba. Lalu ia segera mengayuh sepedanya menjauh dan lama-lama tak terlihat lagi oleh pandangan mata kami.
Yayoi memandangiku dengan wajah penasaran. Aku pun berlari meninggalkannya sebab aku yakin ia akan memaksaku bercerita kenapa Satoru bisa berkata seperti tadi padaku.
“Miyuki… tunggu!” teriak Yayoi padaku. Tapi tak kuhiraukan dan aku terus berlari sambil tertawa karena berhasil membuat penasaran teman akrabku.
***
Saat haru seperti ini, matahari akan terbenam cukup lama dan setelah itu langit mulai berubah warna. Lewat jendela kamar, aku duduk santai sambil membaca komik. Walau sedang membaca, mataku bisa saja mengedarkan pandangan ke arah lain termasuk ke atas langit. Kututup komikku dan meletakkannya kembali ke lemari buku. Kini aku lebih tertarik mengamati keindahan langit saat senja. Di tambah lagi saat ini bunga-bunga masih bermekaran dengan indahnya.
“Tok tok tok…” Pintu kamarku diketuk seseorang. Pasti itu haha.
Aku beranjak dari dudukku dan membuka pintu kamar. Haha tersenyum padaku dan berkata, “Sayang, tolong belikan tofu karaagedon set di Togaden ya!”
“Oke, Haha sayang.”
Setelah haha menyerahkan uang sejumlah 800 yen, aku langsung mengambil pita bermotif polkadot dan menyematkannya di sebelah kanan rambutku.
“Ittekimasu!” kataku pamit seraya menuruni tangga.
“Iterasshai, Miyuki!” pesan haha. Aku menoleh sejenak pada haha lalu mengangguk tersenyum.
Kukayuh sepeda menembus jalanan. Sengaja kukendarai sepelan mungkin karena aku sangat suka suasana Kyoto di kala senja menjelang malam seperti ini. Di sepanjang perjalanan, kulihat pohon-pohon sakura berbunga dengan lebatnya. Cantik! Aku melebarkan senyumku sambil berdendang kecil
Tak terasa aku sudah sampai di depan Togaden. Restoran ini memang baru dibuka pukul lima sore. Jadi sekarang lagi ramai-ramainya pelanggan yang berdatangan.
Selesai membeli tofu karaagedon set dan keluar dari area Togaden, angin bertiup cukup kencang hingga menerbangkan rambut panjangku yang bergelombang dan berombak. Pita polkadotku bergeser dari posisinya semula. Sejenak aku berhenti mengayuh sepeda dan membetulkan letak pita rambutku.
Bruuk!
Untuk ke dua kalinya, aku terjatuh karena ada yang menabrak dari belakang. Namun aku bersyukur kali ini sepedaku tidak menimpa tubuhku. Baru saja ingin memarahi orang yang seenaknya menabrakku, mulutku tak bisa berucap apa-apa.
Dia lagi! Tapi kali ini dia ikut terjatuh dan sepedanya menimpa tubuhnya sendiri. Syukurin! Ucapku dalam hati. Dia berusaha berdiri, tapi sepertinya kesulitan menyingkirkan sepeda sport-nya.
Aku jadi tak tega karena melihat wajah Satoru yang meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Aku segera menghampiri Satoru dan membantunya berdiri. “Kepala kamu berdarah, Satoru!” kataku hampir berteriak saat tak sengaja melirik ke arah kanan kening Satoru.
“Biasa saja kali! Dasar cewek aneh!” cetus Satoru memasang wajah kesal. Lantas tangannya diusapkan ke keningnya untuk memastikan kata-kataku.
Satoru mencari sesuatu dari dalam saku celana jinsnya. Tapi dia menelan ludah karena tidak menemukan apa yang ia cari. Aku mengambil sapu tangan dari dalam tas kecil di keranjang sepedaku dan menyerahkannya pada Satoru. Dia hanya menatapku lalu mengacuhkan uluran tanganku yang memberinya selembar saputangan berwarna biru muda.
Entah keberanian dari mana, dengan cepat kuusapkan saputangan ke arah kening Satoru untuk membersihkan darahnya yang pelan-pelan mulai mengalir.
“Hei, siapa yang suruh kau membersihkan lukaku?!” ujar Satoru dengan suara tertahan namun terkesan kesal dan membentak.
Aku hanya diam saja dan terus membersihkan darah di kening Satoru.
“Pelan-pelan! Sakit tahu!” bentak Satoru. Meski mulutnya berkata-kata membentakku, tapi tubuhnya berdiri kaku.
“Ada yang sakit lagi tidak, Satoru? Darah di keningmu sudah tidak keluar lagi. Sampai di rumah nanti langsung diobati ya,” kataku yang tiba-tiba berubah lembut. Padahal aku ingin membalas bentakannya padaku. Juga ingin menyuruhnya meminta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Tapi nyatanya aku tak bisa marah pada laki-laki yang berada di hadapanku kini.
Satoru memandangku dalam-dalam. Matanya yang indah seketika terlihat lebih teduh dari biasanya. Poninya yang berkeringat terlihat basah dan diusapkannya ke sebelah kiri. Lalu ia menunduk. Aku merasa dia salah tingkah. Entah apa penyebabnya.
“Arigatou gozaimasu, Miyuki! Kamu kok jadi baik begini… ada apa?” Suaranya terdengar parau.
“Aku selalu baik pada semua orang termasuk pada orang yang menyebalkan seperti kamu,” jawabku jujur dan spontan.
“Gomen nasai! Mungkin aku memang menyebalkan. Aku menyesali atas kejadian beberapa hari yang lalu. Lutut kaki kirimu sudah sembuh, kan?”
“Eh?”
“Dimaafkan tidak?”
Aku mengangguk lalu tersenyum. Dan Satoru pun tersenyum padaku. Ah, senyumannya terlihat sangat manis. Hatiku berdesir bahagia dan seperti ada kupu-kupu yang mengelitik perutku saat memandangi senyuman Satoru.
Tiba-tiba aku baru tersadar jika kami sedang berada di jalanan depan Togaden dan telah menjadi pusat perhatian beberapa orang. Sepertinya Satoru pun baru tersadar. Beberapa detik kami saling berpandangan lalu tertawa bersama.
***
Di sabtu sore, udara terasa cukup gerah. Mungkin karena haru akan berakhir dua hari lagi dan akan digantikan natsu. Berarti dengan segera pendingin ruangan harus disiapkan di rumah untuk menghalau udara panas yang akan datang berkunjung selama kurang lebih tiga bulan ke depan.
Namun aku bukan memikirkan natsu yang akan segera datang, tapi pikiranku terfokus pada pakaian dan penampilanku sore ini. Pukul lima, aku dan Satoru janjian untuk bertemu. Satoru mengajakku ke daerah Arashiyama. Tentu saja dengan senang hati aku terima ajakannya. Siapa yang bisa menolak jika diajak pergi oleh orang yang telah berhasil menarik hati kita?
Baju terusan yang anggun berwarna hijau dan putih. Kaus kaki putih dengan sepatu hitam. Rambut dikepang dua di samping, lalu diikat menjadi satu ke belakang dengan pita berwarna hijau. Begitulah penampilanku dan saat ini aku sedang berdiri di depan rumah menunggu kedatangan Satoru.
“Hai!” Satoru telah berdiri di hadapanku dan menyapaku. Matanya memperhatikanku lalu bibirnya membentuk sebuah senyuman.
Aku membalas senyuman Satoru. “Kenapa, Satoru?” tanyaku bingung karena Satoru masih terus memandangiku.
“Emmh… kau manis sekali,” puji Satoru yang membuatku jadi salah tingkah. Aduh, jantungku kenapa berdetak cepat seperti ini sih.
“Eh, Satoru juga manis kok.” kataku memuji Satoru. Ia mengenakan jins hitam dan kemeja biru langit. Rambutnya yang tebal dan poninya yang menjuntai menutupi sebagian keningnya, makin terlihat manis dan aku tak bosan-bosannya mengagumi manusia di hadapanku ini.
“Aku sih sudah manis dari lahir. Kau baru tahu ya?” candanya sambil mengedipkan mata jenaka padaku.
Aku hanya tertawa.
Sesampainya di daerah Arashiyama, Satoru mengajakku memasuki The Sagano Bamboo Forest, sebuah taman bambu yang sangat indah dan menarik karena membentuk seperti tirai yang unik. Taman bambu seluas 16 kilometer persegi ini tidak hanya indah tapi suara anginnya dapat terdengar melalui rumpun bambu yang tebal. Sore ini banyak yang datang berkunjung dan menikmati lingkungan alam yang paling indah di Jepang ini.
Tiba-tiba Satoru memegang tanganku. Perlahan jemarinya mengisi sela-sela jemariku ketika kami mulai menelusuri area taman bambu yang sejuk, sesejuk hatiku saat ini. Aku yakin wajahku sudah bersemu merah. Apalagi jemari Satoru meremas lembut jemariku. Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk menoleh ke arah Satoru di samping kananku. Jadi yang kulakukan hanya diam dan terus melangkah.
Sesampainya di belokan yang cukup sepi, Satoru menghentikan langkahnya. Ia menarik napas lalu dengan perlahan mengembuskannya. Kemudian aku memberanikan diri untuk menatap wajah Satoru. Ia terlihat gugup dan melepaskan jemarinya dari jemariku.
“Kenapa dilepas, Satoru?”
Satoru tersenyum dan ia berkata dengan wajah yang serius, “Apa aku boleh terus memegang tanganmu?”
Aku mengangguk dan kini mata Satoru menatap dalam-dalam ke mataku. Rasanya sinar mata teduh itu menembus sampai ke dalam aliran darah di tubuhku. Kembali kurasakan jemari Satoru memenuhi sela-sela jemariku.
“Miyuki, kau dan dia begitu mirip. Terutama sikap dan rambut gelombang kalian. Oleh sebab itu, saat pertama kali aku melihat dirimu, dengan sengaja kusenggol sepedamu dan tidak menolong kau yang terjatuh akibat ulahku. Itu karena aku membenci dia yang telah berkhianat,”
Kudengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Satoru dengan penasaran. Suara angin saat ini tak terdengar. Mungkinkah sang angin pun sedang mendengarkan kata-kata Satoru?
“Namun aku sadar, kalau kamu bukan dia. Sejak kau terjatuh saat itu, aku selalu memikirkanmu. Mungkin semua ini memang sudah menjadi takdir untuk kita, Miyuki. Aishiteru!
Aku memandangi mata Satoru seolah bertanya apakah kata-katanya itu sungguh-sungguh benar. Satoru mengangguk dan ia membawa tubuhku ke dalam dekapan hangatnya. Tanpa sadar aku menitikkan bulir bening dari kedua pelupuk mataku. “Aku juga mencintaimu, Satoru!” bisikku lirih di dekat telinga Satoru.
Tiba-tiba suara angin kembali terdengar. Namun kali ini lebih lembut dan merdu. Seolah menembangkan kidung cinta nan indah yang mengiringi kisah kasih kami berdua.
Index:
__________________________________________________________________
1. Togaden: Restoran yang terletak di Wilayah Sanjo ini menyajikan menu dengan berbahan dasar tofu (tahu) dan sayuran, tanpa ada daging.
2. Sanjo: Wilayah Sanjo adalah “Shinjuku”-nya Kyoto, di mana daerah ini menjadi pusat perbelanjaan dan fashion di kota Kyoto.
3. Haru: Musim semi.
4. Tadaima: Aku pulang!
5. Ohayoo gozaimasu: Selamat pagi
6. Uwabaki: Sepatu khusus untuk di sekolah. Uwabaki adalah sebuah tradisi Jepang untuk Membedakan orang luar dan orang dalam. Dengan Uwabaki, kelas gedung sekolah jadi tidak terlalu kotor.
7. Sensei: Panggilan hormat untuk guru.
8. Arigatou gozaimasu: Terima kasih!
9. Do itashimashite: Sama-sama.
10. Haha: Ibu
11. Tofu karaagedon set: Salah satu menu yang berbahan dasar tahu di Restoran Togaden. Harganya 800  yen
12. Ittekimasu: Aku pergi!
13. Iterasshai: Hati-hati!
14. Gomen nasai: Maafkan aku!
15. Natsu: Musim panas
16. Arashiyama: Salah satu tempat menarik di Kyoto dengan pemandangan yang indah dan terletak di kaki  gunung.
17. Daisuki: Aku sayang kamu!

Karena Aku Malaikatmu

0

Tak pernah ku bayangkan sebelumnya hidupku akan berubah sejauh ini. Semuanya berawal dari sebuah pertemuan singkat yang membuatku tak akan pernah mengerti bagaimana itu terjadi. Sebuah perasaan aneh terus menghantuiku. Rambut pirangnya yang ikal terurai, sorot bola mata yang seakan penuh harap, senyum dari bibir mungilnya yang seakan menjerat siapa pun yang melihatnya. Aku tak dapat menggambarkan lebih dalam lagi, ia sangat misterius.
Hari itu adalah hari peringatan kematian keluargaku namun tak sedikit pun kesedihan muncul dalam raut wajahku. Dengan membawa seikat bunga, aku berjalan dengan malasnya ke pemakaman. Aku berdiri termenung menatap jajaran batu nisan keluargaku. Aku berjalan dan meletakkan seikat bunga di atas batu nisannya. Aku masih tak dapat memaafkan mereka. Bagaimana bisa mereka meninggalkan aku untuk berlibur ke Los Angeles, tetapi sekarang mereka tak akan pernah kembali. Tanpa pikir panjang aku berjalan meningggalkan nisan keluarga itu.
Ketika aku berjalan pergi, aku berpapasan dengan seorang wanita. Ia berjalan sambil memeluk seikat bunga mawar merah yang mulai menghitam. Tatapan matanya memandang kosong ke segala arah. Aku tak tahu siapa dia, tapi dia telah membuatku terus terpaku memandangnya. Ia terus berjalan melewati nisan-nisan lainya. Gadis itu lalu duduk mematung di depan sebuah batu nisan. Ia mengusapnya dan memandang dengan tatapan kosong seakan memikirkan sesuatu. Aku terus mengamatinya dari kejauhan. Kemudian aku lihat dia mengeluarkan benda kecil dan mengarahkannya pada tangannya. Ia terus menangis di situ dan mendekatkan benda kecil itu ke tangannya. Sepertinya ia ingin mengakhiri hidupnya. Tanpa pikir panjang aku berlari dan mencegahnya.
Dengan air mata yang masih membasahi pipinya, ia menatap mataku. Dengan tatapan nanar dari matanya yang seolah memendam kesedihan seumur hidupnya. Aku menarik tangannya dan membantunya berdiri, tapi ia tidak menerima bantuanku. Ia berdiri dan berjalan meninggalkanku sambil memeluk lagi seikat bunga mawar itu. Ada apa dengan gadis itu?
Suatu sore aku berjalan menuju taman, saat itu sedang musim gugur jadi ku putuskan menghabiskan waktu ku di situ. Ketika sedang asiknya membaca buku sambil mendengarkan musik di bawah pohon, aku melihat gadis yang beberapa hari lalu aku lihat di pemakaman. Aku bangkit dan berlari mengejar gadis itu. Gadis itu menghilang, kemana dia. Aku terus mencarinya. “Itu dia” kataku.
Ia duduk di sebuah kursi kayu panjang dengan mata terpejam. Angin sore berhembus menerpa wajahnya, cantik sekali. Secepat kilat aku menegeluarkan ponselku dan memotretnya. Aku berjalan dan mendekatinya.
“Hai aku Davis, kamu siapa?”
Ia lalu terbangun dari lamunananya dan menatapku dengan muka yang memerah padam. Sepertinya aku telah mengganggu waktu bersantainya. Ia hanya terdiam dan berlalu dariku. Ia seakan-akan tidak ingin berada di dekatku. Baiklah mungkin ia sedang bad mood.
Karena sepanjang bulan ini masih musim gugur, tiada salahnya jika aku menghabiskan setiap sore untuk keluar rumah. Aku keluar dan menuju ke dalam mobil. Cuaca sore ini sangat indah, aku pergi menuju ke kedai teh yang tak jauh dari pusat keramaian taman kota. Aroma tehnya benar-benar membuat pikiranku tenang. Ketika meminum teh sambil menikmati suasana sore kota Paris, aku melihat gadis itu lagi. Aku berlari keluar dari tempat itu.
“Hei anak muda, kau belum membayarnya!” teriak si pemilik kedai teh.
“Uangnya aku tinggalkan di atas meja!”
Aku berlari mengejar gadis misterius itu. Aneh sekali, aku selalu tak pernah dapat menemukannya. Aku bergegas masuk ke mobilku. Aku harus mengejarnya, ia pasti belum pergi jauh. Aku terus mengemudikan mobilku menyusuri kota. Sepertinya sengatan matahari sore musim semi telah membuat bajuku basah oleh keringat. Ketika hendak pulang aku melihat gadis itu tengah berjalan di kerumunan orang. Lagi-lagi aku berlari mengejarnya dan melewati kerumunan orang banyak yang tengah menghabiskan waktu sorenya di kota.
“Permisi..”
“Oh maaf telah menabrakmu”
“Permisi, biarkan aku lewat”
Karena berlari di tengah kerumunan orang, lari ku terhambat. Sial, aku kehilangan dia lagi. Sebuah benda berwarna pink tergeletak di jalan. Aku memungutnya dan membukanya perlahan. Bertapa terkejutnya diriku melihat bahawa pemiliknya adalah gadis itu. Tadinya aku berniat menyerahkannya ke kantor polisi, tetapi mungkin benda itu dapat membantuku jadi tidak akan aku serahkan. Sesampainya di apartement aku lalu mandi untuk menyegarkan badanku setelah kejadian sore tadi.
Setelah menyantap makan malam, aku duduk di depan TV yang menyala sambil membuka isi dompet itu.
“Mectha?”
“Mectha Rosiene, pernah kuliah di Sorbonne University”
Mungkin aku bisa mengenalnya lewat situs network. Kuambil laptop dari kamarku dan duduk lagi di depan TV. Mectha Rosiene. Nihil, tak ada satu pun accountnya di situs pertemanan. Semalaman itu aku masih terus mencari dan berharap mungkin aku bisa menemukannya. Aku tidak menyadari bahwa aku tertidur di depan TV hingga pagi. Ketika melihat ke arah jam dinding, bertapa kagetnya aku saat itu. Kacau kelas dimulai lima menit lagi. Dengan segera aku mengambil tasku dan menuju ke mobil. Untunglah aku tidak terlambat. Seusai pelajaran aku menghampiri Nick, dia adalah sahabat baikku.
“Hei bro, how are you?”
“Fine” kataku.
“Nick, aku ingin menyanyakan sesuatu padamu”
“Tentang Kanya?”
“Ini bukan soal Kanya. Ini soal Mechtha Rosiene, apa kau kenal dia. Kudengar dulu dia sempat kuliah di sini”
“Mectha Rosiene?. Dulu memang pernah kuliah di sini, tapi setelah kematian kekasihnya dia keluar dari tempat ini”
“Oh jadi begitu”
Hanya sebatas itu yang aku tahu, harus mencari tahu lebih dalam lagi. Kuputuskan sore itu akan ke pemakaman, aku harus tahu siapa nama yang dulunya menjadi kekasih Mectha. Mudah saja aku menemukannya, akan tetapi ada yang aneh. Sepertinya gadis itu baru saja meninggalkan makam ini, ia meletakkan bunga mawar yang kehitaman di atas batu nisan Joana Ricky. Aku mengelilingi tempat itu, mungkin ia masih ada di tempat ini. Lagi-lagi, cepat sekali dia pergi meninggakanku. Ia seakan tidak ingin jika aku terus mendekatinya, memangnya apa yang salah denganku. Aku baru ingat, dompetnya mungkin bisa memancingnya kembali.
“Mectha, benda berwarna pink ini milikmu bukan” aku berteriak.
“Bisakah kau serahkan itu dan pergi dariku sekarang” katanya tiba-tiba.
“Tidak, sebelum kau tunjukan padaku siapa dirimu sebenarnya!”
Hebat, caraku berjalan dengan baik. Dia benar-benar menampakkan dirinya secara langsung di depanku. Sekarang aku bisa melihatnya dari dekat. Dia sama seperti yang aku lihat sore itu ketika sedang duduk di taman. Cantik sekali dengan rambut ikal yang terurai, kulit yang putih mulus bak porselen.
“Serahkan itu!”
Aku mengulurkan dompet itu di tanganku. Ketika ia akan mengambilnya dariku, secepat kilat aku menarik tanganya. Aku akan membawanya ke taman ketika aku melihatnya sore itu duduk di bangku taman.
“Katakan siapa dirimu sebenarnya”
“Pergi dan menjauh dariku atau kau akan mati bersamaku”
“Apa maksudmu aku akan mati”
“Aku bermimpi semua yang akan terjadi dalam hidupku, semua orang yang ada di dekatku”
“Maksudmu de javu?”
“Jadi sebaiknya kau tinggalkan aku jika tidak ingin mati bersamaku. Aku tak mau lagi ada orang yang ditakdirkan akan mati bersamaku. Aku tak mau kau seperti Joana, ia mati karena salahku. Seharusnya aku katakan kepadanya dari awal bahwa ia akan mati jika bersamaku.”
Ia menangis, raut mukanya dibasahi oleh air mata. Sepertinya ia memang benar-benar menanggung beban dan rasa bersalah yang sangat besar. Aku menghargai maksudnya. Aku tidak akan lagi mengganggunya.
Ketika di malam musim dingin, aku pergi ke luar untuk makan ke luar bersama teman-temanku. Kami pergi ke pusat kota. Perlahan mulai melupakan kejadian ketika aku bertemu dengan gadis itu dengan bersenang-senang. Tetapi mungkin aku telah ditakdirkan untuk menjadi penyelamatnya ketika maut akan datang padanya. Di tengah acara makan malam, aku pergi untuk keluar sebentar. Ketika aku melihat gadis itu berjalan sendirian pada saat lampu merah, aku membuang pandanganku darinya. Lampu berubah menjadi hijau ketika ia masih berjalan di tengah jalan raya. Aku berlari ke arahnya dan menarik tanganya. Ia jatuh tepat ke pelukanku, nyaris saja akan mati.
“Kenapa kau muncul lagi, bukankah sudah kukatakan kau pasti akan mati jika bersamaku. Kau nyaris mati tertabrak tadi” katanya sambil menangis.
“Aku tak tahu apa yang membuatku terus berbuat seperti ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku membawaku. Mungkin aku ditakdirkan untuk menjadi malikat penyelamatmu”
“Ikut aku” kataku sambil berlari menarik tanganya.
“Kita akan kemana?”
“Sudah ikut saja”
Aku membawanya ke tempat pusat perbelanjaan berbagai mode pakaian di Paris. Aku berjalan melewati sederet pakaian-pakaian mewah berlabel ternama dan menuju ke tempat pajangan koleksi topi mewah. Aku mengambil salah satu topi berwarna pink berbahan wool. Setelah membayarnya, aku lalu memakaikanya ke kepalanya.
“Pakai itu. Kau tampak cantik jika memakainya. Beberapa hari yang lalu ketika kita bertemu, aku melihat topi ini di etalase toko. Kupikir ini cocok jika untukmu ternyata benar”
“Mengapa, kau lakukan semua ini untukku?”
“Anggap saja ini hadiah dari malaikat penjagamu”
Saat ini tugasku adalah untuk menjaganya. Aku harus menjaga Mectha. Karena aku telah ditakdirkan untuk bersamanya dan melidunginya.